Wednesday, January 13, 2016

RATNA PRAWIRA, MENGOLAH PISANG UTER MENJADI PRODUK YANG BERNILAI JUAL TINGGI




Kejeliannya memanfaatkan pisang uter yang saat itu dibuang dan dijadikan pakan burung, membuat Ratna berhasil memberikan penghasilan tambahan bagi ibu-ibu di lingkungannya. Dari tangan dinginnya, lahir berbagai hasil olahan pisang yang membuat perempuan asal Ambon ini meraih berbagai penghargaan.

Ide untuk membuat aneka olahan dari pisang bermula ketika ia baru saja ditunjuk menjadi ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Seruni yang didirikan pada 2009. Ratna pun menginginkan bisa membawa kelompok ini menjadi maju. Ia lalu memulainya dengan mencoba membuat sesuatu dengan bahan yang ada di pekarangan tempat tinggalnya. Kebetulan, pisang uter yang berbiji ini banyak tumbuh liar di desanya, Sendangtirto, Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Baik di pekarangan, pinggir sawah, dan kali. Sampai tahun 2009, harga pisang ini sangat murah, tak laku diual dan hanya untuk pakan burung. Ratna berniat mengolahnya menjadi sesuatu yang bisa memberikan tambahan penghasilan pada warga yang lahannya ditumbuhi pisang uter.

Ratna bercerita, awalnya para tetangganya sering memberi pisang itu dari hasil pekarangan mereka. Namun, karena keluarganya tidak menyukainya, diam-diam ia terpaksa membuang pisang itu. Lama kelamaan, Ratna berpikir kalau saja pisang ini bisa diolah menjadi sesuatu, tentu lebih berguna. Waktu itu, harga pisang uter hanya Rp 2.500 per tandan, jadi bisa menekan biaya produksi. Padahal, pohon pisang uter tidak gampang kena penyakit. Saat itu Ratna mengolahnya menjadi tepung pisang. Cara membuatnya tidak terlalu sulit. Pisang tinggal dikupas, diparut, lalu dijemur dan digiling. Tapi setelah ia pasarkan ternyata sulit mendapatkan pembeli, karena masyarakat sudah terbiasa bergantung pada tepung terigu. Akhirnya, ia ganti dengan membuat sambal goreng pisang yang bentuknya mirip kering tempe. Dan barulah makanan ini bisa diminati orang. Namun muncul kendala baru, yaitu kulit pisang yang jadi menumpuk. Kulit ini lalu ia coba olah menjadi kerupuk. Awalnya membuatnya memang agak sulit. Tapi setelah tujuh kali mencoba, barulah berhasil.

Ratna mulai memproduksi semua olahan pisang itu pada tahun 2011. Yang membuatnya adalah para anggota KWT. Selama 1,5 tahun sebelumnya, ia berusaha membenahi dulu sumber daya manusia yang ada, karena para anggota KWT itu rata-rata hanya berpendidikan SD. Yang pertama kali diolah adalah buahnya, lalu kulitnya. Selanjutnya, inspirasi sering datang dengan sendirinya. Ratna mengaku ia sering mendapatkan inspirasi saat duduk di ruang tamu sambil memandangi pohon pisang. Di ruang tamu rumahnya, ia memang memajang pohon pisang setinggi manusia yang terbuat dari plastik. Di sekitar daunnya, beberapa uang mainan terjuntai yang sengaja dipasang Ratna sebagai lambang pohon tersebut menjadi sumber rezeki baginya. Saat melihat batang pohon pisang itu, ia selalu berpikir, apa yang bisa dibuat dari batang pohon pisang itu ? Begitu juga sewaktu ia memandangi daunnya, dan seterusnya. Yang ada di kepalanya memang hanya pisang dan pisang, sampai-sampai sering membuatnya sulit tidur.

Ratna berterus terang, sampai saat ini, kalau sudah hampir menemukan sebuah resep, sering membuat kepalanya jadi sakit. Oleh karena itu, walaupun sudah tengah malam, ia harus bangun dan coba membuatnya, barulah setelah itu ia bisa tidur nyenyak. Menurut Ratna, semua yang ada di pohon pisang bisa dimanfaatkan. Mulai dari daun, batang, buah, jantung, dan bonggol. Tidak ada yang terbuang. Saat ini, pisang uter malah telah dibudidayakan di desanya. Kalau hanya buahnya saja yang diambil, nilainya hanya Rp 25.000. Kalau seluruh bagian dari pohon pisang itu diolah dari daun sampai bonggol, minimal bisa menghasilkan uang sebesar Rp 1 juta. Sayangnya, dulu masih banyak masyarakat yang belum tahu, hingga sangat disayangkan kalau pohon pisang uter ini harus terbuang begitu saja setelah dipanen.

Hasil olahan dari pohon pisang uter yang telah Ratna ciptakan antara lain, daunnya yang ia olah menjadi sirup dan manisan. Biasanya manisan ini dipesan warga yang akan mengadakan acara atau hajatan. Lalu, batang pisang diolah menjadi abon. Sementara bonggol dijadikan kerupuk, manisan, dan nugget. Kulit pisang pun ia jadikan kerupuk, selai, sambal goreng pisang, saus sambal, dan kroket. Sedangkan buah pisang, ia jadikan tepung, dan barulah dari tepung itu ia buat roll cake, lidah kucing, dan pangsit. Selain itu buah pisang uter juga ia jadikan sebagai bahan utama sambal goreng pisang. Jantung pisang ia buat stik dan bijinya dibuat menjadi kopi.





Sebetulnya hampir semua pisang bisa diolah seperti itu, kecuali pisang ambon. Menurut Ratna pisang ambon hanya enak buahnya saja, tapi seluruh bagian pohonnya rasanya pahit. Sementara pisang uter meskipun buahnya tidak enak tapi seluruh bagian pohonnya bisa diolah. Kemampuan Ratna bisa menciptakan olahan itu biasanya datang secara mendadak. Setelah membuat beberapa hasil olahan kulit, buah pisang, dan jantung pisang, ia sering diminta berbagi ilmu di berbagai daerah. Suatu saat pada 2011, ia diminta jadi pembicara di acara pelatihan persiapan pensiun bagi pegawai sebuah bank di Bandung. Dan secara tiba-tiba, para ibu yang ada di sana menanyakan mengapa batang pisangnya belum ia olah ? Entah kenapa, dengan spontan dan penuh keyakinan ia mengatakan bahwa batang pohon pisang itu sudah dibuatnya menjadi abon, meskipun pada saat itu sebenarnya ia belum membuatnya sama sekali.

Kemudian, para ibu yang sebetulnya hendak melihatnya berdemo membuat nugget jantung pisang, langsung beralih minta dipraktikkan membuat abon dari batang pohon pisang. Sempat kaget juga dirinya ketika langsung ditodong di forum resmi seperti itu. Beruntung, saat hendak membuat sesuatu, Ratna tidak pernah melihat bahan baku yang ia pegang. Jadi, biasanya ia harus membayangkan sendiri, dengan menganggapnya sedang membuat abon ayam. Ia lalu meminta orang yang membantunya dalam acara demo itu merajang batang pohon pisang kecil-kecil dan merebusnya. Dalam bayangannya, kalau direbus batang yang berserat itu akan menjadi lembut. Setelah lembut, ia minta rebusan batang itu diremas dan diperas dengan serbet. Para peserta pelatihan pun akhirnya dibuat takjub karena jadinya mirip suwiran daging ayam. Barulah setelah itu ia olah dengan bumbu abon seperti biasa. Dan beruntung, hasilnya sangat sempurna.

Lucunya kejadian seperti di atas berulangkali kerap terjadi. Entah kenapa, setiap lidahnya mau mengucapkan apa pun tentang olahan pisang, biasanya resepnya langsung jadi. Mungkin banyak orang yang tak percaya dengan apa yang dialaminya, tapi itulah yang memang sering terjadi sebenarnya. Ratna sendiri merasa harus bisa dan paling pantang mengatakan tidak bisa. Soal belajar, itu urusan belakangan. Apalagi ibu-ibu yang kerap menjadi peserta pelatihannya telah menganggapnya sebagai wanita serba bisa dalam mengolah aneka bahan untuk dijadikan makanan. Tak peduli, apakah Ratna betul-betul bisa membuatnya atau tidak. Pernah suatu ketika ia diundang ke Maluku Utara, di mana di sana banyak terdapat kerang. Sesampainya di sana, si pengundang langsung berpesan bahwa saat demo ia diminta untuk mengolah kerang. Di dalam kamar hotel, Ratna nyaris tidak bisa tidur. Pikirannya fokus membayangkan apa yang bisa dibuat dari kerang. Kalau sudah begitu, ia seolah-olah sedang berada di dapur dan mengolah kerang. Setelah itu ia langsung tulis resepnya. Dan pada besoknya, ia pun sanggup membuat kerupuk kerang, selai dan dodol. Rasanya pun enak. Ratna juga menginginkan, apa pun yang ia buat harus ada keunikan. Karena dengan keunikan itu, ibu-ibu yang membuatnya akan mudah mendapatkan pasar. Bahkan di akhir tahun 2013 lalu, Ratna melihat dodol kerang buatan masyarakat Maluku Utara sudah diliput oleh stasiun televisi. Selain kerang, saat pelatihan pernah juga, ia ditodong untuk membuat olahan dari bahan mangga muda.

Yang mengejutkan, Ratna mengaku dulunya ia tidak senang memasak. Saat pertama kali pindah ke Yogyakarta dari Ambon tahun 2001 karena mengikuti suaminya, ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya untuk mengisi waktu senggang. Lalu iseng-iseng, ia membeli sebuah tabloid wanita yang waktu itu memuat resep kue kering. Ia pun mencobanya dan disitulah ia baru merasakan ternyata nikmat juga menyibukkan diri di dapur. Padahal sebelumnya, ia menganggap dapur sebagai hal yang menjijikkan. Ratna menikah dengan suaminya, Suyadi, di tahun 1985. Dan baru dua tahun kemudian ia belajar menanak nasi. Sekarang ia mengaku benar-benar cinta dapur. Ratna sendiri memiliki latar belakang pendidikan S1 Fakultas Ekonomi di sebuah universitas di Ambon dan sempat bekerja selama empat tahun sebagai PNS di kantor Walikota Ambon.

Saat ini, total seluruh olahan dari pohon pisang yang berhasil dibuatnya berjumlah 25 jenis, termasuk produk untuk jangka pendek seperti nugget, black forestpisang, puding pisang, dan roll cake. Produk yang jangka pendek ini hanya ia buat kalau ada pesanan saja, misalnya dari kantor dinas tertentu, atau anak remaja yang memesan lewat online, yang dikelola oleh anaknya. Para remaja yang kerap memesan itu biasanya untuk dijadikan oleh-oleh. Dengan usahanya ini, Ratna sebetulnya ingin memperkenalkan pada masyarakat bahwa Indonesia tidak perlu tergantung pada tepung terigu. Semua kue yang ia buat itu memang tanpa menggunakan tepung terigu. Sementara untuk produk yang jangka panjang seperti kerupuk, harganya rata-rata Rp 7.500. Harganya sengaja ia buat seragam agar orang lebih tertarik membeli. Selain kerupuk, produk yang paling difavoritkan pembeli adalah sirup.





Ratna biasa memasarkan produk KWT Seruni ini bila ada studi banding dari kelompok tani lain di sekitar Yogyakarta atau daerah lain. Biasanya sepulang dari melakukan studi banding, para pesertanya akan membeli produk KWT Seruni. Selain itu produk-produk itu juga dititipkan ke distributor yang menjualnya ke luar daerah, misalnya Solo dan Semarang. Ratna pun juga bekerja sama dengan beberapa bus pariwisata untuk membawa para penumpangnya ke desanya. Biasanya dua hari sekali bus-bus itu datang. Karena sering menerima tamu dari luar itulah, akhirnya Ratna membuat showroom di sebelah ruang tamu rumahnya. Ratna pun juga sering diajak mengikuti pameran yang diadakan Yayasan Keanekaragaman Hayati dan Dinas Pertanian ke seluruh Indonesia.

Seringnya diminta untuk berdemo di berbagai daerah dan dikunjungi untuk studi banding, sama sekali tidak membuat Ratna takut tersaingi. Bahkan, saat ini sudah banyak yang membuat produk serupa usahanya di Bantul, Sleman, dan Gunung Kidul setelah mengikuti demo yang dilakukan Ratna. Ratna membiarkan saja hal itu terjadi, toh nantinya orang akan tetap mencari produk KWT Seruni yang sudah dikenal. Jadi, ia tidak pernah menganggap mereka sebagai saingan. Malah, ia kerap mengajari mereka secara benar dan bermitra, sehingga ketika ia kekurangan produk, bisa mengambil dari mereka.

Saat ini, jumlah anggota KWT Seruni ada 30 orang. Awalnya, menghimpun masyarakat untuk menghasilkan sesuatu terutama yang tinggal di pedesaan cukup susah. Buat mereka, kalau bisa membeli, mengapa harus susah-susah membuatnya ? Ratna pun harus punya trik sendiri untuk merangkul mereka, dengan menjadikan mereka sebagai keluarga. Butuh waktu dua tahun untuk itu, dan sekarang mereka sudah tahu apa manfaat dari kegiatan ini. Awalnya mereka tidak tahu bahwa yang mereka konsumsi selama ini banyak mengandung formalin, pewarna tekstil, atau boraks. Oleh karena itu, Ratna juga mengajak anak-anak Sekolah Dasar untuk belajar membuat saus dari kulit pisang dan nuggetdari jantung pisang sepulangnya mereka dari sekolah. Saus dan nugget memang banyak dijual di sekolah, tapi warna dan kandungannya tidak terjamin. Dan sekarang, mereka pun bisa membedakan mana yang sehat dan berbahaya. Saat mengikuti pameran, Ratna juga kerap mengajak mereka dan ikut memajang produk buatan mereka. Ratna menjamin bahwa semua produknya bebas pengawet dan pewarna.

Dalam sehari, KWT Seruni bisa memproduksi 5 kg kerupuk mentah atau sebanyak 250 bungkus. Sementara produk yang lainnya dibuat dua hari sekali. Ratna memang tidak memaksakan anggota KWT Seruni harus memproduksi sekian banyak per bulan, karena pekerjaan utama mereka adalah berjualan di pasar. Sore sepulang berjualan, barulah mereka ada waktu untuk mengerjakannya. Bila ada produk baru, Ratna akan mengajarkan mereka materinya sebanyak tiga kali, setelah itu ia perlombakan. Yang keluar sebagai juara pertama itulah yang akan memasok produk di showroom. Meskipun hadiahnya hanya gelas setengah lusin, mereka sangat senang. Itulah trik yang dilakukan Ratna untuk menambah semangat dan memberi mereka kepercayaan diri. Dulunya, para anggota KWT Seruni banyak yang masih minder saat mengobrol dengan para pegawai dari kantor dinas. Sekarang mereka sudah lebih rileks. Adapun seluruh alat-alat produksi yang dipakai merupakan pemberian dari Departemen Pertanian Yogyakarta, yang menjadi pembinanya.

Kendala dalam produksi biasanya ada pada sinar matahari saat musim hujan. Sebab, produk yang dibuat oleh KWT Seruni memang menggunakan sinar matahari untuk proses pengeringan. Sementara untuk soal uji pasar dan masa kedaluarsa, biasanya butuh waktu satu tahun.

Berkat olahan kerupuk dari kulit pisang, Ratna pernah meraih penghargaan Porduk Inovasi Award dari Dinas Pertanian tahun 2013. Selain itu ia juga pernah meraih penghargaan Adhi Karya Pangan Nusantara dari Presiden SBY di tahun 2012. Selain itu, penghargaan lain yang pernah ia terima adalah pada lomba Menu Beragam Bergizi Seimbang dan Aman. Lalu juga penghargaan untuk lomba olahan kelinci yang ia masak dengan daun kedondong, serta penghargaan untuk roll cake dari ikan lele.

Saat ini, Ratna memang baru memperkenalkan olahan pisang ini sebagai produk dari Yogyakarta. Ke depannya, ia menginginkan ini bisa menjadi produk khas Indonesia. Menurut Ratna, masyarakat Indonesia itu pada dasarnya sangat kreatif, karena bisa mengolah bahan yang murah menjadi produk yang lumayan mahal. Sebetulnya juga, petani itu adalah orang yang kreatif dan mereka juga bukanlah mahluk yang lemah. Karena mereka pun bisa berbuat sesuatu untuk negara.

Selain terus mengolah pisang, saat ini Ratna juga sedang membina kelompok baru dengan anggota 20 orang, yang mempunyai komoditas ubi ungu dan sudah memproduksi kerupuk kulit ubi. Sementara ubinya dijadikan tepung. Kemudian dengan bantuan pemerintah, ia juga telah mendapatkan kebun bibit yang ditanami kol. Hasilnya, bisa dibuat kerupuk kol dari batang kol. Selain itu ia juga menyediakan tepung mocaf dan tepung ubi putih. Kebetulan pemerintah sekarang memang sedang menganjurkan masyarakat untuk mengurangi konsumsi tepung terigu. Selain itu, ada juga produk kerupuk daun selada dan selai selada merah, yang juga memanfaatkan hasil kebun.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/08/ratna-prawira-mengolah-pisang-uter.html


Related Post :


Loading...


No comments:

Post a Comment