Sunday, January 31, 2016

JOY, PERANCANG PERHIASAN DARI PASAR RAWA BENING - JAKARTA TIMUR.



Berbagai perhiasan tertata di toko milik Joy di Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur. Cincin, kalung, dan gelang dengan kreasi yang sedap dipandang, berpadu dengan batu mulia dan mutiara yang tertera di sana. Tangan kreatif yang merancang perhiasan itu adalah Joy.

Semula Joy mengaku hanya berjualan batu mulia dari pintu ke pintu. Seiring mulai dibukanya Jakarta Gems Center, Joy pun ikut membuka toko di sana beberapa tahun lalu. Ia menjajakan mutiara dan beragam bebatuan dari dalam dan luar negeri. Namun, Joy tak puas hanya menjadi penjual perhiasan saja. Ia juga merancang dan mendesain, sehingga ia juga dikenal sebagai perancang perhiasan.

Pada dasarnya Joy memang hobi membuat karya seni. Ia suka mencoret-coret dan membuat desain, lalu membawanya ke tukang yang memang ahlinya. Jadilah, beragam karya rancangannya. Selain itu, Joy juga punya buku yang berisi beragam rancangan perhiasan. Nantinya, peminat yan datang ke tokonya tinggal memilih rancangan yang disukai, dan Joy bisa membuatkan sesuai dengan selera pemesan. Sebelumnya, pembeli yang datang ke tokonya hanya mencari batu mulia yang diinginkannya saja. Joy menyediakan harga mulai dari jutaan sampai puluhan juta rupiah.

Joy mengaku, ia punya pelanggan penasihat hukum yang suka dengan batu mulia, dan kerap berbelanja di tokonya sampai puluhan juta rupiah. Selain itu, banyak juga para artis yang suka datang ke tokonya. Demi kepuasan pelanggan, Joy pun selalu berusaha membuat rancangan baru. Ia juga tak ketinggalan selalu melihat majalah agar tidak ketinggalan trend.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/11/joy-perancang-perhiasan-dari-pasar-rawa.html
Read More

HARLAND FIRMAN AGUS : Pemilik Newbee Corp, Perusahaan IT Pembuat Beragam Aplikasi




Meski awalnya tak suka, pria muda ini kini cinta mati pada bidang IT. Lewat Newbee, ide dan karyanya disukai dunia. Sukses di usia yang terbilang muda memang telah dibuktikan oleh Harlan Firman Agus. Pria kelahiran Batu Sangkar, Sumatera Barat, 25 Maret 1990 ini adalah Direktur Utama PT Kstaria Lebah Indonesia (Newbee Corporation), technopreneur, enterpreuner yang bergerak di bidang Information Technology (IT) dan tengah disorot banyak publik. Tak hanya sukses dalam bisnis, ia juga menjadi inspirasi bagi kaum muda Indonesia. Hebatnya lagi, ia masih terus bekerja keras mengejar mimpinya untuk menyebarkan virus bisnis IT kepada generasi muda.

Harland besar di kota Duri, Riau, yang merupakan daerah perminyakan. Karena orangtuanya bekerja di perminyakan, Harland pun tertarik dan berminat untuk bekerja juga di bidang tersebut. Maka, setelah lulus SMA, ia mengikuti ujian masuk ITB jurusan utama Pertambangan. Namun sayangnya ia tidak lulus. Akhirnya, ia mencoba masuk Fakultas Teknik Informaika, Institut Teknologi Telkom. Harland memang akhirnya jadi tidak sengaja masuk ke bidang IT. Itupun, ia mengaku di semester awal ia sangat malas-malasan dalam belajar karena memang tidak suka dan kurang tertarik pada IT. Supaya betah kuliah, semua unit kegiatan mahasiswa dan organisasi, baik yang ada di tingkat fakultas sampai universitas pun diikutinya. Bahkan ia sampai pernah juga menjadi penari di unit kesenian Minang dan tampil di berbagai acara.

Dengan aktivitasnya yang lumayan banyak, maka kuliahnya pun jadi keteteran, sampai-sampai ia harus dipanggil ke ruang psikolog. Tapi justru, setelah itu Harland menjadi terpacu, bersemangat dan menerima. Ia pun berusaha mengejar ketertinggalan dan mempunyai tujuan baru, yakni bisa lulus kuliah dengan cepat. Dan pada akhirnya ia mampu menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 3,5 tahun. Sebelum lulus kuliah, Harland melihat saat itu fenomena IT sedang booming dengan hadirnya Google, Facebook, dan sebagainya. Maka, ia terpikir untuk mengambil peluang bisa mengembangkan produk serupa dengan kualitas lokal. Apalagi ia tahu, sampai saat ini IT yang ada di Indonesia masih dikuasai investor asing. Maka menurut Harland ini merupakan sebuah tantangan dalam berbisnis. Dan akhirnya tepat di semester akhir, tahun 2011, Harland mencoba mengikuti kompetisi inovasi dan membuat tim dengan nama Newbee Corp untuk membuat karya di dunia digital. Walaupun tidak pernah juara dan selalu kalah, tapi Harland pantang menyerah.

Harland menjelaskan, nama Newbee punya dua makna. Yang pertama, Newbee dapat mewakili anak baru, dan sampai kapan pun Newbee tetap rendah hati. Sedangkan makna kedua bisa juga diartikan sebagai lebah baru. Diharapkan, Newbee berfilosofi seperti lebah yang memiliki team work yang kuat dan penuh manfaat, jadi harus terus berinovasi. Sejak saat itu, Harland bersama tim Newbee Corporation mencari berbagai solusi yang ada lewat IT. Berbagai mobile games hingga aplikasi terus dibuat. Akhirnya, berkat kerja keras, Newbee pun mulai dilirik setelah sukses membuat salah satu aplikasi pelayanan rumah sakit dengan nama SMCare.

Harland menggagas aplikasi ini karena melihat permasalahan registrasi berobat yang terjadi di rumah sakit. Dari sini ia bersama timnya mencoba mencari solusi, yang mana biasanya kalau seseorang sedang sakit dan hendak berobat ke rumah sakit, harus datang sejak pagi dan ikut dalam antrian yang panjang. Padahal, dokter yang ditunggu, kadang datang kadang juga tidak. Jadi, aplikasi SMCare ini merupakan layanan via sms. Di situ calon pasien bisa mem-booking jam berobat dan langsung datang pada jam yang telah disepakati. Nantinya, sistem yang akan membalas semuanya secara otomatis. Maka dengan cara ini pasien tidak perlu mengantri di rumah sakit. Bahkan, pihak rumah sakit juga bisa mengingatkan kapan jadwal check upmendatang. Lewat aplikasi ini, Harland berhasil mendapatkan penghargaan Anugerah TIK Jawa Barat. Ia pun jadi makin serius dan tidak ingin dianggap sebagai start up yang timbul tenggelam. Maka, ia kemudian membuat sistem. Bongkar pasang terjadi di Newbee Corp karena ia membutuhkan tim yang komit dan solid untuk terus berkompetisi dengan ide-ide yang baru.

Sukses dengan SMCare, Harland bersama tim kembali membuat aplikasi telepon seluler bernama Aortalife. Aplikasi ini berfungsi memantau detak jantung, elektrofisiologi jantung, suhu dan pantauan pergerakan motorik seseorang. Dengan aplikasi Aortalife ini, Harland bersama bendera Newbee Corp bahkan sempat diundang ke Silicon Valley, Amerika Serikat, untuk mendemokannya. Sayangnya, karena sambungan internet yang masih lelet, penggunaan aplikasi ini secara real time jadi terbatas, hingga sekarang tidak lagi digunakan. Harland juga mewakili Indonesia ke Hongkong dan Taiwan bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu, Newbee Corp bersama PT Telkom Indonesia kini menjadi salah satu tenanttetap di Bandung Digital Valley.



Kreativitas Harland bersama timnya dalam Newbee Corp seakan tak terhentikan. Ide-ide baru terus berdatangan. Harland bahkan bertekad untuk membantu permasalahan yang ada dalam kegiatan sehari-hari dengan bantuan aplikasi IT yang mereka ciptakan. Salah satu contohnya aplikasi e-resto yang bisa digunakan untuk memilih menu dan reservasi tempat. Jadi, ketika pelanggan datang, ia sudah bisa segera menyantap makanan tanpa menunggu terlalu lama. Ada lagi aplikasi mobile Quran. Walau memang sudah banyak yang membuatnya, tapi ia membuat inovasi lain dengan menambahkan navigasi digital dan fitur speech. Di sini Harland bekerja sama dengan Syamil Quran, sebuah percetakan besar di Bandung.

Harland juga kerap menjadi konsultan untuk membuat aplikasi. Awalnya ia memang hanya mau membuat program saja. Tapi karena jasa konsultasi juga dibutuhkan, akhirnya ia jadi ikut mengerjakan berbagai proyek juga. Salah satunya mengerjakan sistem monitor Bank Mandiri Jawa Barat. Selain itu, ada juga aplikasi sistem monitoring pencatatan keuangan SPBU. Inovasi Harland bersama tim Newbee juga sudah diakui secara internasional. Sayangnya, karya-karya mereka yang diakui ini masih banyak yang belum juga diimplementasikan oleh pemerintah. Namun ada juga yang sudah berjalan, misalnya aplikasi sistem yang mereka bangun untuk Dinas Industri dan Perdagangan. Instansi tersebut sangat bersyukur sekarang sudah tidak perlu lagi memakai jasa vendor asing.

Newbee juga mendapat kesempatan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia. Di bulan Juli 2014 lalu oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, diminta menggarap pariwisata Indonesia. Semua yang berkaitan dengan pariwisata Newbee yang menghandle mulai dari web, Indonesia.travel, forum dan promonya. Proyek ini berjalan selama satu tahun. Selain itu tim Newbee bahkan juga sudah menggarap travel agent beserta aplikasi dan sistemnya.

Harland menyebutkan, potensi bisnis di bidang IT masih sangat besar. Menurutnya, generasi muda harus memanfaatkan peluang ini. Ia memberi contoh pada aplikasi e-resto tadi. Manajemen sistemnya bisa ditawarkan. Kini, salah satu restoran di Jakarta yang menggunakan sistem tersebut adalah restoran Bebek Kaleyo. Tentu saja kesuksesan yang kini diperoleh Newbee Corp tidak didapatkan dalam sekejap mata. Melainkan melalui ketekunan dan kerja keras. Bisnis IT di Indonesia yang semakin berkembang memang membuat lebih kompetitif. Namun tim Harland di Newbee juga selalu sanggup bekerja keras dan ingin bisa menjadi terdepan membuat aplikasi yang bermanfaat.

Untuk rencana jangka pendek, Harland masih ingin terus berinovasi dan terus menyemarakkan dunia technopreneur di tanah air. Ia juga masih ingin terus memotivasi dengan seminar dan mengajak teman-teman generasi muda untuk mengenal technopreneuragar mau berkecimpung di bidang ini. Selain itu ia juga ingin segera memiliki kantor tetap sendiri. Untuk rencana ke depan, Harland ingin semua aplikasi karya Newbee Corp yang membantu dan mendukung pemerintah dapat diimplementasikan dan menjadi solusi. Walaupun bisnis IT berkembang pesat, tapi kebanyakan para pemainnya masih golongan start up dan hanya sebatas mengajukan ide, belum sampai pada tahap pengimplementasian. Jadi menurut Harland, memang dibutuhkan tangan lain yang bisa membantunya.

Harland juga ingin mengembangkan bisnisnya agar semakin besar, karyawan bertambah dan mewujudkan impian membuat Newbee Creative Arena. Ini bentuknya seperti sekolah atau techno camp, dimana bisa menjadi tempat pendidikan untuk belajar mendesain dan membina aplikasi. Nantinya semua orang bisa bergabung tanpa mengenal umur. Harland menceritakan, niat ini terinspirasi dari kantor Google yang bisa diwujudkan sebagai wahana belajar. Saat ini Harland sudah mempunyai 9 karyawan, mulai dari programmner, desainer, dan manajemen. Kalau pun suatu saat ia mengalami kekurangan tenaga kerja, ia biasanya mengambil tenaga freelance. Menurut Harland, dunia IT ini pada dasarnya tidak membutuhkan modal. Hanya menawarkan jasa, tapi potensi bisnisnya memang besar. Harland selalu memakai slogan Disney yang diplesetkan, ?If you can dream IT, you can do IT !?






reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/03/harland-firman-agus-pemilik-newbee-corp.html
Read More

MENGINTIP INDUSTRI KERAJINAN MONEL DI JEPARA


Beragam perhiasan cincin, gelang, dan kalung tertata di etalase toko. Perhiasan itu berwarna putih, berbahan baja putih yang oleh masyarakat setempat disebut monel. Selain perhiasan, di sana dipajang pula aneka kerajinan berbahan monel. Ada aksesori, alat pijat refleksi dan kerokan, penggaruk punggung, dan beragam lainnya. Pengunjung toko pun silih berganti berdatangan lalu memilih-milih barang yang diinginkannya. Pemandangan itulah yang terlihat sehari-hari di Seni Sakti Monel, Kawasan Kriyan, Jepara, Jawa Tengah. Dari arah jalan raya Kudus menuju pusat kota Jepara, Kriyan terletak di sebelah kiri jalan. Ada tugu penanda bertuliskan Sentra Industri Kerajinan Monel, Kriyan, Jepara. Di kanan-kiri jalan Kriyan, belasan ruang pajang monel menawarkan seni kriya khas daerah itu. Kerajinan itu sendiri sudah lama ada di sana dan merupakan warisan dari leluhur.

Melihat seni kerajinan monel di Kriyan, terbentang kesetiaan pada seni warisan leluhur yang diperlihatkan dan dikembangkan. Berkat kerja keras pengrajinnya, kini monel menjadi seni kerajinan yang meluas ke berbagai daerah lain. Menurut H. Abdur Rochim, pemilik gerai Sinar Sakti Monel, yang bangunannya paling megah di daerah itu, sudah sejak tahun 70-an pengrajin monel ada di desanya. Kala itu sebagian besar yang dibuat adalah cincin, baik cincin untuk lelaki maupun perempuan. Saat remaja, Abdur kerap mengambil beragam cincin dari pengrajin, kemudian menjajakannya ke berbagai kota. Masa sulit sempat ia lalui di awal perjalanannya. Dengan berjualan di kaki lima., awalnya ia memang perlu mengenalkan terlebih dahulu kerajinan monel itu seperti apa. Hingga lama-lama banyak yang menyukai. Dibandingkan perhiasan lain seperti emas dan perak, harga monel memang lebih murah. Meski begitu tak kalah menarik bila dipakai.


Berikutnya, selain cincin Abdur juga menjajakan beragam perhiasan dan produk monel yang lain, sampai akhirnya usahanya berkembang seperti sekarang. Perjalanan panjang yang dilakukan Abdur dan pengrajin yang lain, membuat daerah Kriyan terkenal di mana-mana. Orang kemudian mengenal Kriyan sebagai pusat kerajinan monel. Penggemar monel memang tak pernah sepi. Belakangan ini seiring dengan tren batu akik, yang paling dicari adalah cincin untuk tempat akik. Sebenarnya, sejak awal membuka toko Abdur juga sudah menjual batu akik. Tapi memang baru tahun-tahun belakangan ini batu akik menjadi booming. Ia menjualnya dengan beragam harga sesuai dengan kualitas batu. Mulai harga puluhan ribu sampai jutaan rupiah.

Selain cincin, produk monel lainnya juga tak pernah kehilangan pembeli. Bahkan banyak pula yang mengambil dengan jumlah besar, kemudian menjualnya lagi. Toko Seni Sakti Monel memang menjadi tempat kulakan orang yang ingin berdagang monel. Selain itu, banyak pula yang membeli satuan untuk dipakai sendiri. Usaha Abdur terus berkembang sampai sekarang ia memiliki 30-an pengrajin. Di Kriyan, Abdur sudah berhasil memiliki dua toko, selain itu ia juga mempunyai dua toko lagi di Mal Rawa Bening, Jakarta yang sudah lama terkenal sebagai pusat batu dan perhiasan. Cabang tokonya yang di Jakarta pun juga laris.


Abdur Rochim termasuk pengusaha senior dikawasan Kriyan, atau bisa dibilang salah satu perintis. Berkat keberhasilannya, Seni Sakti Monel sering digandeng untuk mengikuti pameran di berbagai tempat. Tapi sekarang ini, ia sedikit mengurangi mengikuti pameran karena ingin memberi kesempatan kepada pengrajin yang lain. Toh sebetulnya, ia mengaku cukup kerepotan bila mengikuti pameran, karena tenaga di tokonya jadi berkurang. Padahal pembeli tidak pernah sepi. Apalagi saat liburan, dari pagi sampai sore toko terus saja ramai. Banyak wisatawan yang berombongan mengunjungi Kriyan, dan Seni Sakti Monel menjadi tempat yang diburu karena tempatnya yang luas dan produknya pun lengkap. Banyak pengunjung yang berasal dari luar kota bahkan luar pulau. Sepulangnya dari sana, banyak pula yang memesan untuk dijual lagi. Dan Seni Sakti Monel secara rutin mengirimnya ke berbagai kota.

Meski sekarang muncul perhiasan berbahan titanium dari Cina, pasar monel tak pernah sepi. Monel tetap ada pasarnya, bahkan ketika banyak orang mengatakan situasi ekonomi sedang sulit, perhiasan monel tetap dicari terutama cincin dan gelang. Mungkin karena harganya relatif lebih murah dibandingkan perhiasan lain. Sebuah cincin monel atau gelang, harganya hanya puluhan ribu. Dengan harga yang relatif murah, orang pun masih tetap bisa bergaya.


Tak jauh dari Sinar Sakti Monel, ada pula toko Wijaya Monel yang didirikan Ali, rekan segenerasi Abdur Rochim. Ali juga menjadi saksi sejarah perkembangan monel. Ia bercerita, dulu pengrajin membuat kerajinan monel dengan cara ditempa, mirip pekerjaan yang dilakukan pandai besi. Setelah listrik masuk desa di tahun 1978, barulah pengrajin membuat dengan dibantu dinamo. Pekerjaan memang jadi lebih mudah, tapi tetap butuh ketekunan. Sampai sekarang monel tidak bisa dibuat dengan cara dicetak karena bahannya termasuk jenis baja yang paling keras, jadi masih harus menggunakan tenaga manusia. Ini pula yang menyebabkan monel tak bisa diproduksi lebih massal.

Dikisahkan Ali, usaha yang dimilikinya ini sebenarnya merupakan warisan dari orangtuanya. Semasa masih remaja, ia kerap ikut ayahnya berjualan cincin monel. Salah satu sasaran sang ayah adalah acara Grebek di Solo yang bisa berlangsung beberapa hari. Di sana ayahnya berjualan bersanding dengan orang Pacitan yang berjualan batu akik, jadi ayah Ali yang menyediakan wadahnya. Selama berhari-hari ayahnya berjualan di Solo, dan menginap bareng dengan penjual batu akik dari Pacitan itu. Pada hari-hari biasa, sang ayah berjualan di Jakarta. Ali pernah mengikuti jejak ayahnya dengan menjajakan monel sampai ke kota-kota di Jawa Timur. Kala itu, ia membawa monel dan emas. Ali memang pernah pula menjadi pengrajin emas. Tapi dalam setahun, ia hanya bekerja membuat perhiasan emas selama empat bulan. Saat itu emas termasuk barang mewah. Hanya orang kaya yang sanggup membelinya. Nah, saat tidak bekerja itulah, Ali keliling berjualan emas, perak, dan monel.


Menurut Ali, masa itu tak mudah menjual perhiasan. Saat menawarkan barang, ia bahkan seperti pengemis. Banyak tauke yang menolak. Ia pun mesti sabar menyakinkan mereka bahwa perhiasan yang ia bawa punya kualitas bagus. Setelah barang yang ia bawa disukai orang, barulah para tauke itu mau percaya. Sempat beberapa kali alih usaha, baru pada tahun 2000 silam Ali kembali konsentrasi menjalankan usaha monel. Ia pernah berjualan di arena pertandingan liga sepakbola. Ternyata, beberapa pemain bola ada yang menyukai cincin monelnya. Saat pemain bola ini bertanding ke luar negeri, hasil karyanya ini juga ikut dikenal warga asing. Tanpa diduga, tiba-tiba ada orang asing yang datang ke tokonya, dan memintanya untuk mengirim kerajinan monel ke negaranya. Permintaan pasar di luar negeri ternyata cukup besar, sayangnya Ali yang memiliki 10 pengrajin ini, tidak sanggup memenuhi semuanya.

Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal pun, Ali sering kewalahan. Kendalanya memang di proses produksi karena pengerjaannya masih manual memakai tangan. Kerajinan monel belum bisa diproduksi massal karena terbatasnya kemampuan tenaga kerja. Ali menambahkan, Kriyan sebagai pusat monel kini juga sudah menjadi tujuan wisatawan. Bahkan ada pengrajin monel yang menjalin kerja sama dengan pengelola tempat wisata air di Jepara. Kunjungan wisatawan yang datang ke sana itu lalu dikemas satu paket dengan toko kerajinan monel yang ada di Kriyan. Pengunjung datang ke sana dengan menggunakan transportasi kereta api mini. Kini, kawasan Kriyan pun selalu ramai.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/10/mengintip-industri-kerajinan-monel-di.html
Read More

R & D, Sepatu Dengan Bahan Kain Tradisional, Karya Mantan Wartawati Dewi Andriani




Sebagai wartawati, Dewi Andriani sering bertemu narasumber yang ia wawancara, antara lain para pengusaha. Dari mereka, gadis berdarah Minang ini sering mendapat masukan tentang bisnis. Mewawancarai para pengusaha untuk artikel profil di media tempatnya bekerja rupanya menumbuhkan inspirasinya untuk mengikuti jejak mereka. Apalagi, ia sering disindir narasumbernya lantaran hanya sering bertanya soal bisnis tapi tak ikut menjalani.

Suatu saat, ia mendapat kesempatan untuk ikut seminar kewirausahaan. Semula, ia merasa sayang ilmu yang didapatnya selama seminar tak digunakannya. Namun ia sendiri bingung usaha apa yang akan dijalankannya. Dari sekian banyak pilihan, ia akhirnya memilih bisnis fashion sesuai dengan minatnya. Kebetulan, di seminar tersebut, ia sempat bertemu dengan pemgusaha sepatu yang menawarinya untuk menjadi reseller.



Dewi pun kemudian sempat berjualan sepatu. Tapi kemudian ia memilih berhenti karena tak punya waktu banyak menjalaninya. Kebetulan, tempat kerjanya yang terakhir sering menugaskannya untuk meliput kewirausahaan. Dari situ, semangatnya untuk berwirausaha muncul kembali. Merasa punya pengalaman berjualan sepatu selama empat tahun, ia lalu memutuskan untuk memproduksi sepatu sendiri, tapi dengan bahan kain tradisional.

Untuk memulainya, ia mengajak kakaknya, Rika Yuliani, patungan modal dan terkumpul Rp 7 juta. Ia sendiri mengumpulkan modal dari bonus tahunan. Dengan sistem makloon, Dewi mendapat 100 pasang sepatu yang diberinya label R&D, singakatan dari namanya dan kakaknya. Sebelum sepatu jadi, Dewi sudah mulai memberi pengumuman pada teman-temannya. Selanjutnya, ia langsung memasang foto sepatunya di Blackberry Messenger (BBM). Tak disangka, teman-temannya ternyata tertarik, beberapa bahkan langsung mau menjadi reseller.



Ternyata, setelah sampai di tangannya, sepatu pesanan itu tak seperti dugaannya. Sekitar 10 pasang di antaranya tidak sinkron antara kiri dan kanan. Ada yang sebelah kirinya tinggi daripada yang kanan. Dewi pun saat itu langsung dilanda panik. Ia terpaksa harus mengembalikan sepatu-sepatu itu untuk diperbaiki. Tapi setelah itu, tak dinyana, saat sepatu-sepatunya sudah diterima pembeli, ada yg melaporkan bahwa baru dua kali dipakai, kain dari sepatunya sobek. Ada pula yang penempatan motifnya tidak sama untuk sepatu kanan dan kiri. Bahkan ada pula yang sepatunya jebol. Dewi baru menyadari hal itu, dan otomatis membuatnya malu dan sangat stress. Apalagi saat itu ia baru gencar berpromosi. Akhirnya, Dewi pun rela untuk menukar sepatu mereka dengan yang baru. Dan ia kemudian mewanti-wanti perajinnya untuk lebih memperhatikan kualitas.

Namun di sisi lain, ada beberapa pembeli yang memesan ulang. Dewi pun bisa bernapas lega lantaran pesanan keduanya lebih bagus kualitasnya. Lalu, dengan percaya diri dia menghubungi pejabat Kementrian Perdagangan yang ia kenal dan memberitahu bahwa ia telah berbisnis sepatu. Kemudian, ia disuruh datang membawa proposal bila ingin mendapatkan dukungan dari Kemendag. Dari situ, Dewi diberi kesempatan untuk mengikuti Inacraft di bulan April 2014. Sebuah ajakan yang membuatnya terkejut sekaligus senang.



Di pameran itu ia membawa sekitar 200 pasang sepatu yang laris dibeli pengunjung. Waktu itu, ia mengeluarkan model berbahan songket, batik dan kain tenun. Ia menjualnya dengan harga Rp 120-140 ribu dan mendapat omzet Rp 20 juta. Dewi pun langsung semringah karena tak menyangka mendapat sensasi baru dalam berwirausaha. Tak hanya itu, teman-temannya dari beberapa daerah kemudian menjadi reseller R & D.

Tiap kali ada tugas ke luar kota, Dewi pun tak lupa berburu kain tradisional. Karena modalnya masih terbilang kecil, Dewi mengaku R & D yang ditujukan untuk usia 18 ? 35 tahun hanya dibuat dalam jumlah terbatas setiap modelnya. Dan kini, Dewi semakin mantap melakoni usahanya.


R & D Shoes
Contact : 081808230835
bbm : 2a488432

yang ingin melihat langsung bisa datang ke stand R&D Shoes di Thamrin City Lantai 1, Blok H depan Gold's Gym, Jakarta Pusat.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/10/r-d-sepatu-dengan-bahan-kain.html
Read More

AGATHA SIMANJUNTAK-ELLIS, Pemilik James and Daughter, Produk Perhiasan Rambut Khas Indonesia Yang Mendunia




Meski mengenyam sebagian besar pendidikan formal di Amerika Serikat, Agatha Belinda Simanjuntak tetap memiliki hasrat yang besar terhadap seni dan tradisi Indonesia. Saat ini ia sedang serius memperkenalkan hair jewelry khas Sumba nan anggun kepada dunia dengan mendirikan James and Daughter (JaD).

JaD merupakan produk hair jewelry yang memang terinspirasi dari tusuk rambut tradisional Sumba. Awanya, Agatha mendapat inspirasi memulai JaD di tahun 2009. Saat itu, bersama sang suami, JP Ellis, ia sedang menikmati masa bulan madu dengan berjalan-jalan ke tanah Sumba. Di sana ia melihat penduduk setempat banyak yang mengenakan aksesori rambut yang menurutnya sangat anggun. Aksesori itu terbuat dari tanduk kerbau dan diukir dengan tangan. Meski nampak sederhana dan polos, namun baginya aksesori itu sangat cantik.

Dari inspirasi itulah, akhirnya ia berpikir untuk membuat produk hair jewelry yang lebih high-end. Bahan tanduk kerbau yang digunakan melalui proses pemahatan dan pemolesan yang serius hingga hasilnya lebih mengkilap, kemudian dihias dengan perhiasan perak dan emas 18 karat. Selain itu Agatha juga menambahkan bebatuan permata seperti berlian, emerald, dan rubi. Produk itu kemudian ia pasarkan di Amerika Serikat.

Ia mulai memasarkan produk JaD di New York dengan menawarkannya dari pintu ke pintu. Untungnya sang suami dulunya mengenyam pendidikan di New York hingga sudah tahu banyak soal kota itu. Dengan membawa peta kota New York yang dibawanya sejak turun dari pesawat, mereka memasuki setiap toko perhiasan yang ditemui untuk menawarkan produk JaD.

Beruntung, kebanyakan pemilik toko yang ditemui menerima mereka dengan hangat, dan memberikan komentar soal produk mereka yang dikerjakan dengan bagus dan halus. Kendalanya hanyalah, bahwa saat itu hair jewelry juga merupakan konsep yang baru bagi industri perhiasan di Amerika Serikat. Umumnya, masyarakat di sana lebih akrab dengan hair accessories yang biasanya terbuat dari plastik dan dibuat pabrikan. Maka, toko-toko perhiasan itu pun juga bingung mau menempatkan produk JaD di mana.

Terlebih untuk toko-toko yang berskala besar, mereka mempunyai birokrasi yang biasanya mengatur sangat ketat tentang spesifikasi produk. Oleh karena itulah, Agatha bersama sang suami lebih memilih memarkan produknya ke beberapa butik perhiasan yang lebih kecil dan longgar peraturannya.

Saat ini, sudah ada beberapa butik di Amerika Serikat yang menjual produk-produk JaD. Bahkan produk JaD sempat pula di-review oleh majalah gaya hidup Conde Nast Traveler US Edition. Di majalah itu juga diperagakan cara mengenakan tusuk rambut JaD dengan elegan. Terbitnya artikel itu pun mampu menaikkan penjualan JaD, karena orang jadi semakin tahu cara memakainya.

Nama James and Daughter sengaja dipilih Agatha sebagai bentuk penghormatan kepada ayahnya, James Simanjuntak. Sebagai anak bungsu, Agatha memang sangat dekat dengan ayahnya. Baginya, sang ayah adalah inspirasi hidupnya sekaligus orang yang sangat istimewa. Ayahnya adalah orang pertama dari kampungnya yang mendapat beasiswa untuk menuntut ilmu di Institut Teknologi Bandung (ITB). Lulus dari ITB, Ayahnya sukses bekerja di Departemen Perindustrian. Ayahnya juga seseorang yang sangat bangga akan Indonesia dan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Kepribadian itulah yang sangat menginspirasi Agatha.

Agatha yang lahir di Surabaya, 4 Februari 1976, sempat mengenyam pendidikan di Jakarta. Namun pada saat kelas 3 SMP ia pindak ke Amerika Serkat, hingga kemudian berkuliah di California Institute of the Arts mengambil jurusan Character Animation. Setelah itu, ia melanjutkan lagi kuliah di Fashion Institute of Design and Merchandising.

Selama beberapa waktu ia pernah bekerja sebagai fashion stylist di berbagai media di Amerika Serikat. Kembali ke Indonesia, ia pun melanjutkan kariernya sebagai fashion stylist untuk sebuah majalah gaya hidup selama setahun. Setelah itu ia pindah ke Bali dan bekerja di John Hardy, salah satu perusahaan perhiasan terbesar di Indonesia. Di situlah ia dan JP Ellis bertemu, hingga kemudian menikah.

Meski lama tinggal di luar negeri, ternyata tak membuat Agatha lupa dengan tradisi Indonesia. Justru malah kebalikannya. Buatnya, lantaran berada di luar Indonesia, ia jadi semakin bisa melihat kekayaan tradisi Indonesia dari perspektif orang luar. Apalagi sejak kecil, orang tuanya selalu menunjukkan kecintaan mereka kepada seni tradisional Indonesia. Sang Ibu misalnya, gemar mengoleksi kain ulos dan batik. Selain itu ibunya juga sangat suka barang-barang antik. Jadi sejak kecil ia sudah terbiasa menganggap koleksi ibunya sebagai sesuatu yang indah dan berharga.

Bahkan rasa cinta terhadap tradisi Indonesia mampu ditularkannya kepada sang suami. Setiap merencanakan liburan, suaminya lebih senang pergi ke berbagai daerah di Indonesia. Mereka pun lebih senang menjelajah ke Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Kalimantan, dan Yogyakarta daripada menikmati liburan ke Bangkok atau Singapura. Suatu saat nanti, Agatha pun ingin mengambil budaya Dayak atau suku lain sebagai inspirasi desain produk-produk JaD. Karena memang masih banyak kebudayaan Indonesia yang bisa dieksplorasi.

Di setiap keeping produk JaD yang dihasilkan, Agatha memang selalu ingin ada misi melestarikan kebudayaan Indonesia. Beberapa desain JaD memang berdasarkan tusuk rambut asli Sumba, tapi beberapa lainnya benar-benar original, kendati inspirasinya tetap dari kebudayaan Sumba. Seperti dari ikat, rumah, totem dan lain-lain. Melalui JaD Agatha pun mencoba melestarikan seni mengukir itu sendiri. Apalagi saat ini sudah jarang sekali anak-anak muda yang menguasai seni ukir.






Di Indonesia keberadaan perajin ukir memang sudah mulai berkurang lantaran anak-anak mudanya lebih suka bekerja di pabrik atau toko. Ada perasaan takut di hati Agatha jikalau seni ukir ini lama kelamaan akan hilang. Terlebih, pemerintah juga sepertinya sangat kesulitan mendukung dan menjaga keberadaan para seniman ukir itu.

Namun Agatha menyadari bahwasanya James and Daughter hanyalah sebuah perusahaan perhiasan kecil yang tidak mungkin bisa melakukan pemberdayaan secara besar terhadap keberadaan seni ukir. Namun paling tidak, yang bisa dilakukannya adalah dengan memperkenalkan perhiasan rambut yang cantik, chic, dan kaya akan budaya Indonesia untuk dihargai oleh wanita dari seluruh dunia.

Agatha pun juga berencana memasarkan produk JaD di Indonesia. Tapi kebanyakan orang Indonesia sering mengira, jika sebuah produk dibuat di dalam negeri, maka harganya akan murah. Sementara JaD adalah produk perhiasan high-end yang sama sekali tidak murah. Baginya, nilai dari setiap produk-produk JaD sangatlah mahal. Bukan saja karena seluruh produk dipahat dan diukir dengan tangan, tapi juga dipasangi perak, emas, dan batu permata.



Untuk membuat satu keping tusuk rambut JaD dari tanduk yang diambil dari kerbau yang sudah mati, butuh waktu sampai 3 hari. Perajin yang membuatnya pun berasal dari Bali dan sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Agatha. Mereka membuat seluruh produk itu dengan sepenuh hati dan sepenuh cinta.

Di Amerika Serikat, Agatha menjual produk JaD dengan kisaran harga 400-1000 dolar AS. Dengan penjualan yang terus meningkat, ia pun berharap akan ada banyak kesempatan untuk melakukan ekspansi.

Contact JaD : http://www.jamesanddaughter.com/


amura courier : layanan jasa kurir untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Cepat, professional, dan bertanggung jawab. Tlp & sms : 085695138867


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2013/10/agatha-simanjuntak-ellis-pemilik-james.html
Read More