Thursday, January 28, 2016

FAJAR PUTRA : Kenalkan Acro Yoga Kepada Kalangan Selebritis





Fajar Putra, yang mengusung nama Penyogastar mulai dikenal semenjak jasa instruktur Acro Yoga-nya mulai sering digunakan para artis. Sebut saja Carrisa Putri, Chelsea Olivia dan Glen Alinskie, Olla Ramlan, serta penyanyi Andien. Menurut Fajar, ia telah mengenal acrobatic yoga ini sejak tahun 2002 lalu, tapi baru ada sekolahnya di tahun 2003. Fajar melihat, di India yoga jenis ini dinamakan partner yoga. Lalu ia mencoba mempraktekkan bersama temannya, hingga akhirnya memberanikan diri mengambil license.

Fajar, yang memang telah mengenal Yoga sejak kecil ini pun lantas kedatangan sepupunya, aktris Carissa Putri yang sekaligus menjadi murid yoga pertamanya yang berasal dari kalangan selebriti. Saat itu Carissa rutin berlatih yoga padanya untuk menurunkan berat badannya pasca melahirkan. Dari situ, Carissa lalu bercerita kepada teman-temannya. Awalnya, jasa latihan yoganya sempat dipakai untuk kebutuhan film Catatan (Harian) Si Boy. Tapi setelah film itu selesai, banyak kru maupun pemain yang minta dilanjutkan. Dan mulailah makin banyak artis yang mengenal.


Menurut Fajar, selain untuk program penurunan berat badan, para selebriti yang rutin yoga di tempatnya juga untuk mendapatkan rasa tenang dan fokus saat berakting. Ia menilai yoga sangat bermanfaat untuk body languageperempuan. Terlebih para klien selebriti rata-rata merasakan tantangan saat harus melakukan beberapa gerakan Acro Yoga. Hal itu tentu menjadi pembeda dan penyemangat para muridnya. Tantangannya adalah karena gerakannya yang ekstrem. Waktu pertama kali memperkenalkannya di kelas, Fajar harus meyakinkan dan menenangkan mereka bahwa gerakan-gerakan itu aman.

Selain itu, Fajar juga meyakini bahwa dengan rutin mengikuti Acro Yoga, akan membuat badan menjadi bugar dan otot terasa kencang. Biasanya untuk wanita, ingin mengencangkan otot di sekitar paha dan lebih bugar. Sementara untuk laki-laki-lagi, efek yang dirasakan adalah jadi lebih berstamina. Fajar mematok harga Rp 250.000 setiap kali kunjungan ke Union Yoga miliknya.

penyogastar

Fajar Putra

Celebrity Yoga Instructor, Founder of @UnionYoga Dharmawangsa CP - Safira : +6281380200701 (text only). Penyogastarcorp@gmail.com, Twitter: @Fajarputra www.unionyoga.id




reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/09/fajar-putra-kenalkan-acro-yoga-kepada.html
Read More

R. NGT. MIA ADIATI : Pertahankan Kuliner Tradisional Jawa Dengan Membuka KEDAI RAKYAT DJELATA


Di Kedai Rakyat Djelata, segala gairah dan kecintaan R. Ngt. Mia Adyati pada kuliner tradisional Jawa ia tumpahkan. Hasilnya, warung berbasis kerakyatan yang tak pernah sepi. Selain itu, ibu tiga anak ini sukses mengelola beberapa brand kuliner ternama di Yogyakarta, Semarang dan Solo, di antaranya HappyBee, MOY-MOY, Sushi Story, HotMeal, Sambel Kedaton, dan Rendang Kampoeng Soewardi.

Kedai Rakyat Djelata yang berlokasi di Jl. Dr. Soetomo, Yogyakarta, berawal dari kerinduan Mia akan menu-menu tradisional, Jawa khususnya. Selain itu ia juga sering melihat petani-petani kita yang suka ditekan oleh orang asing. Kopi misalnya, dihargai rendah. Dan karena butuh uang, lama-kelamaan petani itu menjual kebunnya. Akibatnya, harga makanan pun jadi mahal. Di Kedai Rakyat Djelata, orang tidak perlu bayar mahal untuk menikmati kekayaan alam sendiri. Ide Mia memang membuat warung, bukan restoran. Karena di warungnya ini, semua bahan diperoleh langsung dari petani yang dibeli dengan harga di atas harga tengkulak. Menurut Mia, apa yang dilakukannya ini sebetulnya bukanlah bisnis, tetapi lebih kepada upaya pelestarian.



Meskipun makanan yang ada di kedai ini dijual, tapi uang itu akan dikembalikan ke rakyat. Karena bila petani tidak mempunyai uang, maka Mia pun tidak akan bisa membeli bahan dari mereka. Itulah alasan kenapa kedai ini dinamakan Kedai Rakyat Djelata. Jadi pemilik kedai ini sebetulnya bukanlah Mia, tapi rakyat sendiri. Targetnya adalah melestarikan warisan kuliner, selain juga membantu sebagian orang, khususnya para abdi dalem keraton. Mia menjelaskan lagi, bahwa karyawan yang bekerja di dapur memang bukan karyawan biasa. Mereka kebanyakan adalah anak-anak para abdi dalem keraton yang tak bisa melanjutkan sekolah. Di bagian belakang kedai ini pun juga disediakan tempat tinggal bagi karyawan.



Semboyan Kedai Rakyat Djelata adalah, racikan lawas, sentuhan anyar, rasa juara. Dari rakyat jelata untuk rakyat jelata. Harga makanan di kedai ini memang tergolong murah. Yang paling mahal hanya seharga Rp 15.000. Makan sambil kaki naik kursi pun tidak masalah. Masakannya juga lebih medokdan seadanya. Mungkin Kedai Rakyat Djelata ini bisa dibilang setengah museum kuliner Jawa.


Kedai Rakyat Djelata dibuka tahun 2013. Bisa mendapatkan tempat di lokasi saat ini pun diceritakan Mia cukup unik. Waktu itu ia memang sedang mencari tempat yang murah, dan pada akhirnya bertemu tempat yang sekarang digunakan. Padahal, sebelumnya sudah ada 3 usaha yang tutup semua di tempat itu. Mia lalu bertemu dengan pemiliknya, seorang wanita tua yang meminta harga sewa Rp 65 juta per tahun. Lalu Mia mencoba menawar dengan harga Rp 200 juta untuk 5 tahun. Ia sempat ?curhat? kepada Tuhan memohon agar diizinkan untuk membuka usaha di tempat itu. Dan ternyata, minggu depannya pemilik tempat itu menghubunginya dan setuju menyewakan dengan harga Rp 200 juta untuk 5 tahun.

Mia lalu merombak gedung itu, yang semuanya ia kerjakan sendiri. Memasang aksesoris, memasang poster, mengecat, belanja perabot, semuanya ia lakukan sendiri. Ia ingin dedikasinya nampak penuh di usahanya ini. Dan ini bisa dibilang merupakan idealismenya. Bayangannya waktu itu, ingin kedainya ini harus kelihatan sebagai rumah rakyat. Seperti angkringan tapi tidak boleh terlalu angkringan. Warnanya harus terang putih, dan bisa dipakai untuk acara keluarga dengan suasana yang kelihatan fun. Targetnya memang anak-anak muda agar mereka bisa menghidupi kedai ini. Karena kalau ia menargetkan golongan orang tua kedainya tidak akan seramai sekarang.



Semua resep di Kedai Rakyat Djelata ini merupakan hasil wawancara Mia dengan para abdi dalem yang bekerja di Pawon Ageng Keraton Yogyakarta. Sebagian lagi ia dapatkan dari peracik aslinya, yakni si mbok-mbok yang rata-rata usianya sudah 70-80 tahun. Masing-masing resep punya cerita. Misalnya, Tjoemi Item Mbah Blirik. Mia mendapatkannya langsung dari si Mbah Blirik di Wonosari. Mbah Blirik memang masih hidup dan sudah tua. Tapi anak cucunya tidak ada yang mau melanjutkan usaha kulinernya. Mia berpikir, kalau si Mbah ini meninggal dan tidak sempat mencatat, maka hilanglah resep warisannya. Hidangan unik lain di Kedai Rakyat Djelata yang merupakan hasil pengumpulan resep antara lain, Walang Goreng dan Walang Bacem, Bothok Tawon, Mentho Kasoenan, Manoek Londho, Brongkos Segoro Ireng, Gandem Marem, Kopi Urup, dan lain-lain.

Sebagian makanan di Kedai Rakyat Djelata ada juga yang titipan dari para abdi dalem, seperti aneka sate. Mereka memang bisa membuat tapi tidak bisa menjualnya. Namun terlebih dahulu, Mia harus mencicipi dulu rasanya untuk menjaga kepercayaan orang. Bila rasanya kurang, ia akan mengajari mereka cara memasak yang enak dengan harga yang tetap terjangkau.

Dalam proses pengumpulan resep, Mia mengaku sama sekali tidak menemui kendala. Yang penting adalah komunikasinya bagus dan bisa berbahasa Jawa. Kebetulan ia memang suka jalan-jalan, dan kebetulan pula ayahnya juga dekat dengan Ngarso Dalem (Sri Sultan Hamengkubuwono X). Jadi urusan resep-resep kuno para abdi dalem tidak ada masalah. Masalah paling hanya soal mendapatkan bahan-bahan yang sudah tidak ada atau sulit dicari, misalnya larva tawon untuk bahan Bothok Tawon. Atau mencari walang kayu atau walang sangit untuk dibacem atau digoreng.

Biasanya resep-resep itu ia sederhanakan dan dikombinasikan, karena kalau harus mengikuti resep yang asli, aturannya sangat banyak. Misalnya, ada bumbu yang harus masuk terlebih dahulu, sayur yang harus direbus dahulu, dan sebagainya. Bila dituruti, anak-anak muda yang bekerja di dapur pasti akan sulit mengikuti. Maka, yang terpenting baginya adalah mengupayakan yang terbaik. Namun ada pula sebagian resep yang masih mengikuti apa yang mereka sarankan. Mia pun juga mendidik anak-anak di Kedai Rakyat Djelata untuk mengikuti tradisi, karena disitulah justru letak kekayaan kuliner kita. Misalnya, proses memasak sebagian masih menggunakan anglo. Memang tidak semuanya, karena bila semuanya memakai anglo, pekerjaan akan keteteran. Masakan belum matang, tetapi pembeli sudah mengantri. Semua bumbu juga sudah Mia buat di pabrik untuk menjaga rasanya supaya tetap sama. Kebetulan Mia memang mempunyai pabrik bumbu sendiri.

Mia adalah lulusan Teknik Arsitektur Universitas Duta Wacana, namun jiwanya tidak pernah ke situ. Sebelumnya ia pernah meminta kuliah pariwisata, tapi ditolak mentah-mentah oleh Ayahnya. Karena selama ini, di keluarganya memang belum pernah ada yang berbisnis kuliner. Ayahnya seorang pedagang yang mempunyai toko di Yogyakarta. Pada tahun 1998 saat krisis moneter dan kerusuhan, ayahnya terpaksa harus kehilangan pekerjaannya. Bisnisnya habis. Saat itu Mia masih kuliah di semester 7, sementara adik bungsunya masih SD. Beruntung, setelah lulus kuliah tahun 1999 ia langsung menikah. Saat itu pula ia berjanji pada diri sendiri tidak akan lagi merepotkan ayahnya. Ia pun memutuskan untuk melanglang buana bersama suaminya, Johan Setyanto, mencari beasiswa.

Akhirnya ia dapat kesempatan melanjutkan kuliah dengan beasiswa di Food Tech Course & Culinary Art Course LCB College of Culinary Arts di Los Angeles, AS. Menurut Mia, itu adalah masa-masanya yang paling berat. Sambil kuliah, ia bekerja di sebuah gerai makanan cepat saji selama 2 tahun. Ia seperti merangkak dari nol, karena memang tidak mau meminta uang lagi ke orangtuanya. Saat bekerja, ia menitipkan anaknya ke tempat penitipan yang bayarannya 8 dolar per jam, sementara gajinya sendiri saat itu satu jamnya 18 dolar. Bahkan untuk membeli buah jeruk buat anaknya, ia harus rela mengumpulkan uang koin kembalian, karena harga jeruk di sana cukup mahal. Selain itu ia juga berjualan kering tempe untuk orang Indonesia yang ada di sana.

Mia juga menceritakan, di tahun pertama kuliah, ia hamil. Tentu saja sempat terkejut karena itu diluar rencananya bersama suami. Apalagi di tahun 2000 saat itu ia baru berusia 21 tahun. Setelah melahirkan, saat anak pertamanya baru belajar beejalan, ia kembali hamil. Tapi ia berpikir, Tuhan pasti punya rencana lain atas kehamilannya itu. Mungkin, kalau Tuhan tidak memberikannya dua anak, ia tidak akan berjuang sekeras itu. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan, meskipun usianya masih tergolong muda, tapi wajahnya sudah seperti wanita usia 40-an. Mungkin karena tempaan hidup yang dialaminya.

Namun ternyata Mia tidak betah hidup di luar negeri. Mungkin karena tidak terbiasa hidup di lingkungan orang barat, jadi ia merasa kurang nyaman. Ia pun memutuskan kembali ke Indonesia di tahun 2003. Lalu dengan simpanan dolar yang ia punya, ia membuka usaha kecil-kecilan di mal pertama di Yogyakarta, Galeria Mal. Tapi saat itu keberadaannya masih diremehkan. Ia diberi tempat di dekat toilet dengan ukuran 2x2 meter. Suaminya yang saat itu yang bekerja di Jepara dan harus rela bolak-balik Jepara-Yogyakarta pun membuatkan konter sederhana dengan biaya yang semurah mungkin.

Saat mulai berjualan, Mia hanya memiliki uang Rp 5 juta, yang akan digunakan untuk membayar sewa dan menggaji pengasuh anaknya. Saat itu anaknya masih berumur 2 tahun dan 6 bulan. Diakui Mia, mentalnya sempat surut ketika sehari sebelum membuka konternya, ia menemui Ayahnya untuk meminta restu, tapi tidak direstui. Ayahnya malah menyayangkan, ia yang sudah disekolahkan tinggi, tapi akhirnya malah memilih berjualan di konter yang kecil. Ayahnya saat itu memang ingin ia menjadi dosen, apalagi Mia lulusan cum laude. Sikap ayahnya itu tentu saja sangat membuat Mia terpukul. Namun esok paginya, ia tetap semangat untuk mebuka konternya.

Mia menjual nasi dan ayam goreng yang sudah dipotong-potong tanpa tulang (fillet). Bentuknya mirip bento. Dan kebetulan waktu itu memang belum ada makanan praktis dengan bentuk seperti itu di Yogyakarta. Ia menjualnya seharga Rp 5000 per satu porsi. Ia menamakan konternya HappyBee. Beruntung, usahanya bisa berkembang. Dua tahun kemudian oleh pemilik mal ia ditawarkan pindah ke lantai atas dengan harga sewa yang lebih murah dan tempat yang lebih luas. Dengan luas 180 m2, harga sewanya menjadi Rp 18 juta per bulan. Jumlah karyawannya yang tadinya 6 orang, bertambah menjadi 28 orang. Dan HappyBee pun terus berkembang dari tahun ke tahun. Sekarang, HappyBee sudah tersebar di Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Setelah sukses dengan HappyBee, Mia pun juga sukses membuka beberapa brand kuliner lain seperti Sushi Story, Hotmeal Rice & BBQ, MOY-MOY, dan lainnya.

Kembali ke Kedai Rakyat Djelata, sejak buka sampai sekarang juga tak pernah sepi. Pada hari-hari biasa ada sekitar 500-an pengunjung yang datang. Sementara kalau Sabtu-Minggu antrean bisa sampai ke luar, atau boleh dikatakan bisa sekitar 1000-an pengunjung. Jam buka pun terpaksa ia perpanjang. Bila dulu mulai buka jam 15.00 sampai 23.00, sekarang jam bukanya pada 11.00 tutup jam 23.00. Kedai Rakayat Djelata buat Mia ibarat kanvas. Bila sebelumnya ia hidup dan membuka warung untuk bisnis, di Kedai Rakyat Djelata ini tidak. Karena ini merupakan kanvas kosong yang ia isi. Ia benar-benar menorehkan apa yang dicintainya di Kedai Rakyat Djelata. Ia pun tidak akan pernah menjual Kedai Rakyat Djelata ini, meskipun permintaan untuk waralaba banyak yang datang.




Rencana ke depan, Mia ingin membuka satu lagi Kedai Rakyat Djelata di daerah utara Yogyakarta untuk menjaring turis-turis menengah ke atas. Konsepnya masih sama, hanya saja dekornya ingin lebih me-rumah lagi. Ia ingin membuat replika rumah rakyat. Dapur pun masih memakai anglo dan kayu. Saat ini Mia sedang mencari tempat yang cocok. Selain itu, ia juga masih suka pergi ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mendalami makanan. Yang baru saja dilakukan, ia belajar tentang persambalan. Mia berpikir, bila rendang bisa sedemikian hebat dan populer, kenapa sambal tidak ? Padahal kekuatan kuliner Indonesia adalah kekayaan sambalnya. Dan bila diperhatikan, setiap daerah di Indonesia pasti punya sambal khas masing-masing. Kebetulan pula Mia memang pecinta sambal. Sekarang pun Kedai Rakyat Djelata memiliki aneka sambal asap, yang dinamakan Sambal Kedaton.


Ada pelajaran menarik yang ia peroleh dari pengalaman hidupnya. Bahwa apa yang kita harapkan dan inginkan, tak akan pernah lebih baik dari yang Tuhan rencanakan. Ia berpikir seandainya tidak diberi 2 anak di usia muda, barangkali saat ini ia masih gemar melanglang buana. Tapi ternyata ia seperti dipaksa untuk tinggal tetap. Dan Mia pun juga tidak tahu apa rencana Tuhan berikutnya untuk dirinya.















Jalan Dr. Sutomo no. 54 selatan jembatan flyover lempuyangan
Kota Yogyakarta
0812-2755-5552

Buka
Hari ini 11:00 - 23:00


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/11/r-ngt-mia-adiati-pertahankan-kuliner.html
Read More

DIANA RIKASARI : Dari Blogger, Sukses Berbisnis Sepatu Fashion.




Hobinya mengunggah busana dan aksesori yang akan dipakai ke dalam blog membawanya sukses menjalankan bisnis. Diana Rikasari mengaku sebetulnya tidak berniat menjadi blogger. Saat awal nge-blog di tahun 2007, Diana tengah mengambil program master di jurusan International Business Management, University of Nottingham, Inggris. Kebetulan, saat itu blog baru mulai muncul. Melihat banyak temannya memiliki blog, Diana juga tertarik. Temannya lalu membuatkan blog untuknya. Setelah itu, justru Diana yang lebih rajin menulis di blog ketimbang teman-temannya.

Sejak dulu Diana mengaku memang rajin menulis diari. Jadi, saat bertemu dengan blog ia seperti menemukan diari dalam bentuk digital. Mulanya, ia hanya menulis tentang pengalaman sehari-harinya, misalnya apa saja yang ia pelajari di perkuliahan hari itu, barang yang ia beli, dan sebagainya. Lantaran menyukai dunia fashion, Diana juga rajin bercerita dan mengunggah foto tentang busana dan aksesori yang ia pakai. Ternyata, para pembaca blognya lebih menyukai tulisan dan foto Diana tentang fashion, karena dianggap unik. Komentar positif pembaca blognya membuat Diana keterusan. Karena itulah, ia setiap hari rajin memperbarui tulisan di blognya tentang baju atau aksesori yang ia kenakan atau beli hari itu. Ia sebut juga merek atau nama tokonya sekaligus.


Kadang-kadang memang ada orang yang ingin tahu di mana bisa membeli baju atau aksesori yang ia tulis. Jadi, mereka mengunjungi blog Diana untuk mencari inspirasi dan informasi adanya brand, toko, atau online shop baru. Sejak itu Diana jadi keterusan, hingga orang menganggapnya sebagai fashion blogger. Padahal Diana lebih suka menyebut dirinya hanya sebagai blogger saja. Karena ia merasa konten blog-nya lebih bersifat umum, meski ada unsur fashion di dalamnya. Menulis di blog menjadi keasyikan tersendiri bagi Diana. Belum lagi, ia kemudian diliput sebuah majalah remaja pada 2009 karena gaya berbusananya dianggap unik. Sejak itu, namanya mulai dikenal banyak orang. Beberapa media lain kemudian ikut meliputnya. Namun, yang membuatnya lebih senang adalah orang mengakui selera fashion-nya. Ia juga kerap diundang ke berbagai acara fashion show.

Sebagai fashion blogger yang tidak berasal dari industri fashion, menurut Diana, ia merasa terhormat diundang dalam acara fashion show. Bahkan, terkadang ia mendapat tempat di front row atau barisan terdepan. Biasanya, setelah diundang ke fashion show dan memotret di sana, fashion blogger akan membahasnya di blog masing-masing. Diana sendiri kemudian juga mulai dipercaya menjadi fashion stylist dan diajak bekerja sama dengan merek-merek fashion lokal untuk mendesain baju khusus untuk mereka. Karena memang sejak dulu menyukai fashion, Diana jadi antusias menjalankan berbagai kegiatan barunya. Tahun 2008 setelah lulus kuliah, Diana sempat bekerja kantoran. Meski pekerjaannya jauh dari bidang fashion, yaitu menganalisa data-data statistik untuk riset pasar di sebuah lembaga riset, setiap pulang kantor Diana masih rajin nge-blog. Setelah 1,5 tahun Diana pindah ke perusahaan multinasional lainnya dan berkecimpung di bidang marketing.


Lantaran tetap rutin nge-blog, lama-kelamaan Diana merasa gairahnya ada di dunia fashion. Ditambah dengan ilmu bisnis yang didapatnya semasa kuliah, ia mantap mengundurkan diri dari pekerjaan yang telah digelutinya. Ia memilih berbisnis dan pada tahun 2010, Diana membuat lini sepatu bermerek UP. Ilmu dari dua pekerjaan sebelumnya sangat berguna baginya setelah menekuni bisnisnya sendiri, terutama bagaimana sebuah bisnis dan merek dijalankan. Diana memilih sepatu karena ia memang menyukai sepatu. Kebetulan di Indonesia pengrajin sepatu juga gampang dicari karena jumlahnya banyak, misalnya di Bandung. Hingga sekarang, Diana mendirikan bengkel kerjanya di Bandung. Ia memiliki supervisor khusus yang mengawasi bengkel sepatu itu. Nama UP ia pilih selain karena terinspirasi dari film serial kartun Up yang disukainya, menurutnya kata up juga memiliki makna positif.

Dalam bahasa Inggris, semua kata yang diakhiri dengan kata up selalu bermakna positif, misalnya cheer up, get up, wake up, light up, dan sebagainya. Jadi selalu membangkitkan semangat. Selain itu, merek ini juga fokus memproduksi high heels dan wedges, yang berguna untuk meninggikan badan pemakainya. Diana menambahkan, UP yang kini memiliki 30 pengrajin sepatu dan 6 pegawai di kantornya ini diperuntukkan bagi perempuan usia 15-35 tahun, dengan harga berkisar Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Hingga kini, Diana hanya memasarkan produknya secara online di situs iwearup.com. Yang membedakan UP dengan brand lain adalah sangat memperhatikan bagaimana struktur e-commercenya bisa membuat orang lain tertarik untuk belanja. Jadi, situsnya bukan hanya untuk berjualan saja, melainkan terus diperbarui secara rutin. Pengunjung situs pun bisa mengunduh wallpaper dan lagu-lagu yang masih satu tema dengan UP, bermain game yang berhubungan dengan sepatu yang ada di situs itu, dan sebagainya.


Diana sampai menyewa game developer untuk membuat game itu. Ada juga customer service tambahan, sehingga pengunjung bisa konsultasi soal ukuran sepatu, reparasi, dan sebagainya. Tak hanya itu, UP yang desainnya terbilang kalem juga punya misi sosial bernama Level UP Scholarship Program, di mana UP menyisihkan Rp 5000 untuk setiap pasang sepatu yang terjual. Setelah terkumpul, dananya digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak SD kurang mampu. Hingga kini UP mampu membiayai lebih dari 400 siswa SD dari berbagai kota di Indonesia secara kontinyu per tahun, minimal sampai lulus SMP. Program ini dilakukan sejak 2011. Diana percaya, dalam berbisnis itu kita memang harus berbagi. Pada 2013 Diana mendirikan lini sepatu baru Pop Flats bersama temannya. Untuk merek yang juga hanya dijual lewat situs popflats.com ini, menurut Diana, temannya mengajaknya membuat sepatu datar (flat shoes) dengan konsep yang ceria.

Mereka melihat, flat shoes di Indonesia selama ini modelnya selalu polos, hanya bermain di pita dan warna saja, namun tidak ada elemen lain yang seru. Sementara, Pop Flats karakternya beda sekali karena warna-warni, nyentrik, dan desainnya juga lucu dan terkesan muda. Pop Flats dijual dengan kisaran harga Rp 200.000-Rp 300.000 untuk perempuan muda usia 15-25 tahun. Namun menurut diana, pasaran UP tetap lebih besar dari Pop Flats. Sampai saat ini, bisnis sepatu yang dijalankan Diana berjalan lancar. Meski sibuk berbisnis, ia tak meninggalkan blog yang telah membesarkannya. Diana sendiri mengaku tak menyangka kegemarannya menulis di blog menjadikannya berada pada titik hidupnya yang sekarang. Ibu satu anak ini kini berencana membesarkan kedua merek miliknya ini.



Semasa kecil, Diana bercerita, cita-citanya sering berubah. Sempat berniat menjadi pemain akrobat, setelah SMA keinginannya berubah menjadi dokter. Saat kuliah, ia kembali berubah pikiran ingin menjadi ekonom. Yang jelas, tidak pernah ada cita-cita jadi pebisnis. Namun, ternyata bisnis di bidang fashion adalah passion-nya yang terbesar. Apalagi sejak SMP, perempuan berpotongan rambut unik ini, sudah senang berjualan. Tangannya suka ?gatal? ingin membuat sesuatu. Waktu SMP, ia suka membuat kertas organizer. Ia menggambar garis-garisnya, difotokopi dalam jumlah banyak, lalu ditumpuk menjadi buku organizer. Pernah juga ia membuat bingkai dari kertas koran, yang lalu juga dijual. Saat SMA, ia juga pernah berjualan stiker, dan kalung ponsel buatan sendiri.

Hobi Diana dalam membuat dan menjual aksesori terus berlanjut hingga kuliah di Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Tak hanya stiker, ia juga berjualan baju dan celana boxer yang desainnya ia buat sendiri. Diana sangat bersemangat saat membeli kain dan membawanya ke tukang sablon serta tukang jahit. Setelah baju dan celana itu jadi, perempuan berkaca mata ini juga membungkusnya sendiri. Diana mengaku semua itu hanya untuk hobi dan penyaluran kreativitas saja, tanpa pernah ia pikirkan untung ruginya. Itu sebabnya, harga dagangannya tak ia patok mahal. Harga kaus dengan kualitas distro, misalnya, ia jual sekitar Rp 50.000. Perempuan yang membesarkan anaknya tanpa pengasuh ini memang waktu itu tak pernah sadar bahwa sebetulnya bakat dagangnya sudah mulai muncul. Meski pembeli barangnya adalah masih teman-temannya sendiri


Ia baru tersadar di tahun 2010 setelah berbisnis UP. Saat kuliah S2 itulah, baru muncul keinginannya untuk berbisnis. Nalurinya ternyata tak salah. Terbukti, bisnisnya kini makin besar. Tak hanya itu, pada 2012 Diana juga meraih juara dalam lomba International Young Creative Entrepreneur Award yang diadakan British Council dan mendapat kesempatan untuk mempresentasikan bisnisnya ke para pengusaha kelas dunia di Inggris.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/08/diana-rikasari-dari-blogger-sukses.html
Read More

MIMI CHAN, Pilihan Menikmati Thai Tea Original di Kota Bandung.




MimiChan adalah salah satu produk minuman Thai teapilihan yang wajib dicoba di kota kembang, Bandung. Brand ini sebenarnya kependekan dari minum-minum chantique (cantik) yang dikembangkan oleh sekumpulan anak muda yang memiliki kecintaan yang sama dalam menikmati Thai tea, yaitu Jodi, Alvi, dan Sarah.

MimiChan sudah mulai berjalan sejak 2011. Ketika itu mereka menjualnya masih secara eceran, misalnya pada saat acara seperti car free day, pentas seni (pensi), atau acara kampus. MimiChan juga sempat membuka outlet di Trans Studio Mal, Bandung. Tapi karena belum memiliki perhitungan yang matang, akhirnya outlet itu terpaksa ditutup, karena mereka tidak sanggup membayar sewa yang terlalu mahal. Kegagalan ini lantas jadi pengalaman yang berharga bagi mereka.







Kemudian, bermodalkan uang patungan sebanyak Rp 10 juta, tiga sekawan ini lalu menyiapkan kebutuhan produksi dan alat-alat penunjang. Termasuk properti yang untuk sekali produksi perlu bahan baku yang biayanya kira-kira Rp 800 ribu. Saat pertama kali produksi, mereka hanya membuat 50 cupsdengan ukuran 400 ml, yang dihargai Rp 10 ribu saja.

Soal rasa, MimiChan memiliki takaran dan sistem operasional produksi yang sudah pasti, sehingga siapa pun yang bertugas di bagian produksi akan selalu menghasilkan rasa yang sama. Mereka memang masih berbagi tugas dalam menjalankan bisnis ini. Dua orang di bagian produksi dan satu orang untuk distribusi. Sesuai tagline MimiChan, ?The Best Thai Tea in Town? mereka pun ingin MimiChan tetap terjaga kualitasnya.







MimiChan menyediakan berbagai varian rasa seperti green tea dan taro, walaupun fokus penjualan masih di rasa Thai tea original. Mereka menyediakan rasa tambahan agar konsumen loyal tidak jenuh. Ini juga berdasarkan permintaan dan masukan dari konsumen mereka. Mereka bersyukur, sampai sekarang produk MimiChan masih bisa diterima. Mereka memang mengimpor daun teh dari Thailand sehingga rasanya lebih otentik dan berbeda dengan yang lain.

Kini MimiChan sudah memiliki 22 titik penjualan di Bandung sehingga memudahkan konsumen untuk mencarinya. Dulu, mereka juga sudah sempat membuka cabang di Kemang, Jakarta, dengan memakai sistem konsinyasi. Sayangnya di Jakarta belum bagus penjualannya. Namun mereka sudah merencanakan ingin segera membuka kembali di Jakarta dengan inovasi marketingyang berbeda.







Mereka percaya, MimiChan bisa disukai selain lantaran volumenya lebih banyak dengan harga yang lebih murah. Rasa dan kekentalan Thai tea olahan mereka pun memiliki komposisi yang lebih pas. Produk mereka sudah diuji di Laboratorium Universitas Pasundan, Bandung. Thai tea mereka bisa dikonsumsi dan tahan hingga 10-15 hari jika disimpan dalam kulkas.

Ke depannya, mereka ingin mewujudkan keinginan para reseller yang tertarik membuka usaha ini di berbagai kota besar. Permintaan untuk membuka outlet di Semarang dan Makassar memang sudah ada, tapi mereka masih mencari solusi agar tidak sampai ada perubahan rasa. Karena MimiChan merupakan produk susu yang memiliki daya tahan tidak lama, jadi penuh resiko. Mereka masih terus menggodok sistemnya, agar bisa secepatnya membuka outlet di kota lainnya.




Order & Reseller Call : 022 72229111 / SMS 087821445916.



____________________________








reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/05/mimi-chan-pilihan-menikmati-thai-tea.html
Read More