Saturday, January 30, 2016

USSY SULISTIAWATY & ANDHIKA PRATAMA : Kembali Berbisnis Dengan Meluncurkan Produk Kosmetik Dissy




Pasangan selebritis Ussy Sulistiawaty dan Andhika Pratama kembali membuka bisnis baru. Setelah sukses dengan brand busana muslim, Ussy House Of Muslim, kini keduanya meluncurkan produk kosmetik yang diberi nama Dissy. Menurut Andhika, ide bisnis makeup ini muncul spontan. Karena setelah mereka pelajari ternyata ini termasuk bisnis yang menjanjikan dan menguntungkan bila tepat eksekusinya.

Tentunya menjalani bisnis kosemetik beda dengan bisnis busana. Bila kosmetik dari semua varian, mereka cukup membuat sistemnya, lalu untuk proses produksi tinggal dipantau saja. Sementara untuk busana muslim, setiap model yang mereka keluarkan harus berbeda dengan sebelumnya, maka mereka harus terus mencari ide baru.


Berbisnis produk kecantikan, Ussy pun mengaku terjun langsung untuk belajar segala sesuatunya mulai dari nol. Mulai dari mengenali jenis produk, hingga kandungan yang ada dalam produk tersebut, termasuk juga packaging-nya, semuanya ia cari sendiri. Karena menurut Ussy, kalau sampai tidak mengenali produk yang kita miliki, lebih baik tidak usah menjalankan bisnis tersebut.


Meski memiliki brand dengan nama besarnya, Ussy menjual kosmetiknya dengan harga murah. Karena ia tahu betul, seperti apa kebutuhan kaum hawa. Namun meskipun murah, kualitas yang ditawarkan Ussy pun tidak sembarangan. Kisaran harga yang ditawarkan mulai dari Rp 30.000 hingga kurang dari Rp 100.000. Produk yang paling mahal adalah sabun mandi, seharga Rp 81.000 dengan ukuran 500 ml.



ussy sulistiawaty

owner of DISSY @dissyussy 081382489929











reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/06/ussy-sulistiawaty-andhika-pratama.html
Read More

FIRDA NURUL AINI, Tawarkan Baju Batik Untuk Anak Melalui BATIK BOCAH




Melihat pangsa pasar batik untuk anak-anak masih terbuka lebar, Firda Nurul Aini tak mau menyia-nyiakannya. November 2011, ia menjajal pasar dengan memproduksi sekitar 100 potong baju batik anak yang penjualannya ia titipkan di toko batik Yogya Kembali milik keluarganya di Jalan KH. Ahmad Dahlan No 8, Yogyakarta. Sengaja ia membuat dalam jumlah banyak sekaligus agar langsung menarik perhatian pengunjung toko dan mereka punya banyak pilihan. Baru sebentar memajang, ternyata respons pengunjung toko cukup bagus. Inilah yang membuat Firda optimis dan mulai membuat Batik Bocah, brand khusus batik anak dengan lebih serius. Ibu satu anak yang pernah jadi karyawan kantoran selama 5-6 tahun ini mendesain sendiri baju anak yang diproduksinya. Batik Bocah, menurut Firda, mempunyai ciri khas. Ia sengaja menggunakan warna-warna cerah, sesuai dengan karakter anak-anak yang ceria.

Selain menggunakan kain katun agar nyaman dipakai, Firda juga membuat desain yang simpel sehingga aktivitas anak tidak terganggu. Baju yang ia desain ini bisa digunakan untuk sehari-hari di rumah, jalan-jalan, wisata, bahkan sekolah. Namun, sarjana ekonomi ini menyatakan, tidak tertutup kemungkinkan juga ia membuat baju berdasarkan permintaan pembeli. Misalnya untuk ke acara yang lebih resmi, atau ingin baju dengan detail dan kombinasi yang lebih banyak. Pembeli pun bisa memilih motif, model, dan warna yang diinginkan, seperti yang dilakukan sebuah TK di Yogyakarta yang mengunakan Batik Bocah sebagai seragam sekolahnya. Firda sendiri sejak awal memang sudah bekerja sama dengan pengrajin batik sehingga bisa membuat motif yang diinginkan.





Kebetulan, keluarganya memang mempunyai usaha batik yang diturunkan sejak zaman eyangnya dulu. Di toko milik keluarga yang turut ia kelola, ia sering melihat sendiri antusiasme pembeli untuk mencari batik anak. Itu sebabnya, setelah melihat Batik Bocah punya banyak peminat, ia membuka toko khusus yang bersebelahan dengan toko milik orang tuanya. Firda juga pernah menyewa stand di sebuah mal selama setahun untuk memperkenalkan produknya ke masyarakat Yogya. Respons masyarakat ternyata cukup bagus karena selain pembelian langsung, ada juga beberapa orang yang tertarik menjadi reseller. Ia pun juga rajin mengikuti pameran, termasuk yang diadakan di Jakarta, seperti Inacraft. Dari pengunjung pameran itulah, ia mendapat inspirasi untuk membuat baju batik untuk bayi. Karena banyak orangtua, terutama yang berusia muda, yang kerap menanyakan baju batik untuk bayi. Selain itu, sisa kain percanya ia buat menjadi aksesori, seperti bando dan pin. Semaksimal mungkin kain yang masih bisa dibuat produk, akan ia manfaatkan.

Untuk baju, harganya berkisar Rp 65.000 ? Rp 275.000 dengan pangsa usia bayi sampai 12 tahun. Baju muslim adalah yang harganya paling mahal, karena sudah satu stel dengan jilbab. Untuk dress, harganya Rp 155.000. Sedangkan harga aksesori mulai Rp 15.000 ? Rp 35.000. Tak hanya menjual di toko dan membuka stand di mal setiap musim liburan, Batik Bocah juga ditawarkan lewat Facebook, Twitter, Instagram, dan bekerja sama dengan toko onlinebesar. Selain itu, batik kreasi Firda juga bisa ditemui di beberapa mal besar di Jakarta, Bali, Tangerang, dan Semarang. Yang menarik, baju batik yang per bulan diproduksi 250-300 potong ini bukan hanya merupakan kombinasi beberapa warna kain, melainkan juga paduan antara batik dan lain-lain. Misalnya lurik atau jins. Untuk produksi, Firda dibantu empat orang penjahit yang mengerjakan di bagian belakang tokonya.




Keunikannya ini yang membuat Batik Bocah laris dicari saat musim libur, Lebaran, dan akhir tahun. Ada pula model yang dibuat Firda sejak pertama kali buka, sampai sekarang repeat order-nya masih tetap tinggi. Padahal, ia cuma mengubah kombinasi warnanya saja. Batik Bocah bahkan juga pernah dipakai sebuah kelompok tari dari Yogya untuk tampil di sebuah stasiun televisi, dan kerap tampil di acara fashion show yang digelar di Yogyakarta dan Malang. Dalam setahun, Firda menargetkan setidaknya ada dua model baru yang dirilis. Firda sendiri mulai terjun ke dunia usaha sejak 2002 dengan membuat kerajinan yang bersifat natural untuk dekorasi interior. Awalnya, ketika ia sudah mempunyai anak, ia akhirnya memilih keluar dari pekerjaannya untuk total mengurus rumah sambil berbisnis. Ternyata kesibukannya berbisnis itu menjadi keterusan. Usaha kerajinan yang dimilikinya semakin besar sampai akhirnya sang suami juga ikut keluar dari pekerjaannya untuk membesarkan usahanya itu sampai sekarang. Kini Firda berbagi tugas dengan suaminya untuk mengelola kedua usaha yang dimilikinya.







Hubungi Kami

  • batikbocah@yahoo.com
  • 0274 589491
  • 0274 589491(Fax)
  • 0811254323(Mobile)
Buka Toko : 09.00 - 21.00 WIB
Jl.Kha Dahlan No. 8
Gondomanan
55122
Indonesia




reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/09/firda-nurul-aini-tawarkan-baju-batik.html
Read More

GELIAT USAHA BORDIR DI KOTA KUDUS




Selain dikenal sebagai Kota Kretek, Kudus juga tenar sebagai salah satu sentra bordir. Geliat kreasi guratan benang di atas kain untuk mempermanis busana itu, begitu terasa ketika memasuki Desa Padurenan, Kecamatan Gebok. Di sana, ratusan perempuan pengrajin menciptakan kreasi bordir, yang hasilnya tersebar ke berbagai kota. Salah satu pengrajin yang berhasil adalah Hj. Sri Murniah. Menurut ibu enam anak yang hanya tamat SD ini, ia sudah menekuni bordir sejak masih remaja, atau saat usianya belum genap 17 tahun. Kala itu ia bekerja pada seorang pengrajin di desanya. Sambil bekerja, ia banyak belajar mulai dari bagaimana membuat teknik bordir sampai membuat beragam pola dan motif. Lama-kelamaan, Sri pun berniat untuk mengelola usaha sendiri. Awalnya, ia mengambil 2-3 kain lalu membuat bordir sendiri. Kemudian, hasil karyanya itu ia titipkan pada orang yang berjualan di pasar. Ternyata laku, dan membuatnya tambah semangat.

Keinginan membuka usaha sendiri semakin kuat setelah pemilik usaha Fadillah Embroidery ini menikah dengan Maskan, seorang penjahit. Dibantu seorang karyawan, Sri membuat bordir yang diaplikasikan ke kerudung. Hasilnya, masih ia titipkan ke orang lain. Setelah mempunyai satu anak, barulah Sri ingin memasarkan sendiri kerudung karyanya. Tak kenal lelah, Sri berkeliling ke beberapa pasar di sekitar Kudus, bahkan sampai ke luar kota seperti Demak dan Jepara. Ia tak risau meski semula karyanya kerap dilecehkan pedagang pasar. Ia berkeyakinan, bahwa konsumen lah yang menjadi juri paling adil. Kalau karyanya memang bagus, pasti akan laku. Kenyataannya memang begitu, kerudung bordir buatannya termasuk laris.


Pembeli senang dengan bordir bercorak motif bunga dengan jalinan benang yang rapat itu. Istilahnya, ciri bordir yang dihasilkan Sri itu disebut mentes. Belakangan, malah banyak pedagang pasar yang ingin menjualkan bordir karya Sri. Agar tak mengecewakan konsumen, Sri terus memperbaiki kualitas karyanya. Ia juga tak letih menawarkan karyanya ke berbagai kota lain. Secara berkala, ia memasok kerudung bordir ke pasar-pasar, salah satunya ke Pasar Kliwon, Kudus. Tak hanya kerudung, ia juga membuat corak bordir di kebaya. Sri begitu menikmati saat membuat beragam corak baru. Ia menimba ilmu dengan membaca majalah dan sering pula dapat masukan dari pembelinya.

Soal mode, Sri memang tak mau ketinggalan. Inspirasi ide bisa muncul dengan mengamati corak bordir karya pengrajin lain. Tapi, ia tidak menjiplak mentah-mentah. Ia hanya mengambil idenya, kemudian mengembangkan dengan gaya sendiri. Termasuk pula, ia mengunjungi sentral bordir di Tasikmalaya. Dari hasil pengamatannya, bordir Kudus memang punya ciri khas tersendiri. Berkat ketekunannya, usaha Sri pun makin berkembang. Area jualannya semakin luas. Karyanya berhasil masuk ke pasar Solo. Ia mengaku, Solo termasuk pasar bordirnya yang terbesar. Karyanya banyak dijual di toko-toko Solo, termasuk di Pasar Klewer. Memang ada sedikit imbasnya ketika pasar itu terbakar. Namun, sekarang sudah mulai pulih lagi. Sampai sekarang, setidaknya seminggu sekali ia mengantarkan dagangan ke Solo.

Kreasi bordir Sri makin bertambah. Ia juga membuat baju koko, gamis, mukena, dan beragam produk lain. Dibantu 30 karyawan yang sebagian bekerja di rumah masing-masing, ia terus berkreasi. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, Sri tak hanya membuat karya dengan mesin jahit biasa yang oleh pengrajin setempat disebut bordir icik. Ia juga melangkah ke bordir komputer. Jejaknya makin mantap ketika tahun 1995 mulai membuka show room di rumahnya yang termasuk megah di desanya. Mulai dari pejabat daerah sampai desainer kenamaan Jakarta pernah singgah di rumahnya. Sri juga merasa bahagia, kini makin banyak warga desanya yang berkecimpung di industri bordir.


Sri mengaku untuk mempromosikan usahanya, ia kerap mengikuti pameran. Salah satunya pameran di Semarang. Ia membuat kebaya bordir untuk berbagai kalangan, dengan harga jual mulai Rp 90.000 sampai Rp 400.000. Kebaya bordir buatannya ini pun termasuk laris. Selain itu, usaha Sri juga kerap menjadi tempat magang siswa SMK. Ia memang terbuka menerima siapa saja yang mau belajar di tempatnya. Ada pula mahasiswa yang membuat skripsi dengan meneliti usahanya. Sri mengaku, bordir telah membuat hidupnya sejahtera. Memulai usaha bersama suami dari modal dengkul, kini ia berhasil membangun rumah, menunaikan ibadah haji, dan menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang tinggi. Sekarang, anak-anaknya juga sudah mulai ikut meneruskan usahanya.

Selain Sri, ada pula Amirawati, yang juga memiliki usaha bordir di Desa Padurenan, Kudus. Di rumahnya, ibu dua anak ini membuka toko bordir yang belum diberi nama. Usahanya memang tidak sebesar Fadillah Embroidery. Meski begitu, dagangannya termasuk lengkap. Mulai dari kerudung, kebaya, baju koko, dan mukena. Sebagian ia buat sendiri, sebagiannya lagi merupakan produk karya teman pengrajin. Amirawati, yang anak seorang penjahit ini mengisakan, bordir sudah tak asing baginya. Ia mengenalnya sejak remaja. Saat itu, sambil sekolah ia nyambi kerja dengan membuat bordir di rumah.

Hapir senada dengan pengalaman Sri Murniah, Wati akhirnya juga mencoba usaha sendiri. Sambil memproduksi kerudung dan kebaya, ia menitipkan kreasinya ke pasar-pasar sejak tahun 1986. Ternyata rerspons masyarakat bagus. Sekitar tiga tahun Wati rajin berkeliling pasar. Usahanya ini sempat terhenti saat ia menikah, dan merawat anak-anaknya yang masih kecil. Ia baru kembali menekuni usahanya tahun 2003. Kembali ia memproduksi kerudung dan kebaya bordir dan membawanya ke luar kota. Sekarang produknya makin beragam. Tapi yang paling laku adalah kebaya dan jilbab. Ia menjual kebaya mulai dari harga Rp 125.000-Rp 350.000. Harganya tergantung kualitas bahan dan tingkat kerumitan bordirnya. Wati yang usahanya dibantu 7 karyawan ini juga kerap mengikuti pameran.

Berkat mengikuti pameran itu pula, kebaya karyanya dikenal sampai luar kota. Uniknya, kebanyakan memang pelanggannya dari luar kota. Warga sekitar justru jarang yang berbelanja ke tokonya. Dalam sebulan, produknya bisa laku ratusan item. Hasilnya cukup lumayan untuk keperluan hidup sehari-hari. Penjualan akan semakin ramai bila menjelang Lebaran, karena saat itu banyak yang mencari kerudung. Dan untuk memenuhi permintaan pasar itu, ia dan karyawannya pun harus bekerja lembur, bahkan sudah mulai mencicil membuat kerudung dan kebaya sejak sebelum bulan puasa.


Bordir Desa Padurenan, Kudus pun ternyata tak hanya milik kaum perempuan saja. Prospek usaha yang sedemikian menjanjikan ini, juga telah menarik minat Izan An Nimi untuk turut menekuninya. Izan termasuk generasi muda yang menekuni bordir. Setelah meraih gelar sarjana pendidikan di tahun 2011, Izan mulai menekuni usahanya. Berbeda dengan pengrajin lain, ia lebih fokus ke usaha bordir komputer. Desainnya dibuat di komputer dan pengerjaan sepenuhnya juga menggunakan mesin. Hanya perlu 1-2 orang saja untuk mengoperasionalkan mesin. Pengerjaannya memang jauh lebih cepat. Satu mesin bisa setara dengan 40 pengrajin yang membuat dengan mesin biasa. Tapi, tentu hasilnya beda. Izan menggunakan mesin memang untuk mengejar target produksi. Sebagai anak muda yang melek teknologi, untuk memasarkan produknya, Izan memanfaatkan media sosial, termasuk pula membuat website. Hasilnya, ia kerap mendapat order dari luar kota. Secara rutin ia menerima pesanan, bahkan sampai Sumatera, Kalimantan, Papua, dan tentu saja Jawa-Bali.

Salah satu andalan Izan adalah membuat bordir untuk logo. Ia menerima pesanan dari berbagai dinas, termasuk sekolah-sekolah. Belakangan, memang lagi tren logo seragam sekolah yang dibordir. Selain itu, Izan juga membuat beragam produk lainnya seperti kerudung dan mukena. Ia mengaku omzet usahanya bisa mencapai Rp 30 juta per bulan. Izan yang orangtuanya petani ini mengatakan, bordir memang sudah menjadi nafas bagi desanya. Banyak warga yang hidup dari bordir. Bayangkan saja, saat ini ada 117 pengusaha UKM di desanya yang bergabung dalam Koperasi Padurenan Jaya. Itu pun belum mencakup semua pengrajin yang ada, karena bila ditotalkan seluruhnya, bisa ada 200-an pengrajin. Di koperasi itu, Izan termasuk salah satu pengurusnya. Selain menghidupi warga desanya, rezeki bordir pun juga ikut merembet ke desa-desa tetangga. Banyak karyawan usaha bordir yang berasal dari desa tetangga. Biasanya, mereka mengerjakan di rumah masing-masing.


Izan pun yakin, usaha bordir di desanya ini tidak ada matinya. Penjualan tidak pernah surut. Dari tahun ke tahun malah meningkat. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan mengikuti pameran. Saat mengikuti pameran itu produk pasti laris. Ia mencontohkan, saat mengikuti pameran selama lima hari di Semarang, ia bisa mengantongi Rp 25 juta. Baik Izan, Sri Murniah, Amirawati dan pengrajin lain di desa Padurenan, berkeyakinan bila bordir desanya akan terus berkembang sampai jauh, menembus ke kota-kota lain. Kini Desa Padurenan tengah dirintis menjadi desa wisata berkat binaan dari Bank Indonesia. Di kantor Koperasi Padurenan Jaya, nampak maket perencanaan menuju desa wisata itu, yang diharapkan bisa benar-benar terlaksana.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/09/geliat-usaha-bordir-di-kota-kudus.html
Read More

DHINI AMINARTI & DIMAS SETO, Berbisnis Baju Koko Fashion Dengan Brand LARVA




Pasangan selebritis yang menikah 12 Desember 2009 ini, ternyata tak hanya kompak di dunia akting, tetapi juga dalam berbisnis fashion. Sejak tahun 2012 mereka membuat baju koko fashiondengan brand Larva. Koko fashion artinya pakaian yang tidak hanya dipakai untuk ibadah saja, tetapi bisa pula untuk berbagai acara. Mulai dari memilih bahan, desain, hingga produksi mereka sendiri yang menangani. Ide awal untuk membuka bisnis tersebut, karena mereka melihat sendiri banyak anak muda yang enggan memakai pakaian koko karena desainnya yang jadul. Lalu dengan bermodal nekat, mereka kemudian membuka butik Larva di Bintaro dan di Tanah Abang.

Kini reseller Larva sudah tersebar secara nasional dan di beberapa negara Asia, seperti Malaysia, Brunei, dan Filipina. Bahkan koko fashion buatan Dhini dan Dimas sempat menjadi trendsetter di sana. Workshop-nya yang terletak di Sawangan kini sudah memiliki 60 karyawan. Kemudian, sejak tahun 2013, Dimas pun sudah berekspansi ke kaus pria dengan brand DIZ Men. Sementara untuk target ke depannya, menurut Dimas, Larva juga akan membuat lini baju perempuan dan baju seragam keluarga. Namun, mereka tetap akan mempertahankan kelebihan Larva sebagai produk masal yang eksklusif. Jadi untuk satu motif, mereka paling hanya memproduksi sebanyak 300 piece. Total jumlah order yang masuk per bulannya sudah mencapai lebih dari 30 ribu piece.



Berbisnis fashion mau tak mau membuat Dhini dan Dimas harus belajar banyak soal produksi dan promosi. Konsumen di masing-masing daerah tentunya berbeda dalam banyak hal. Dimas mencontohkan soal desain dan warna, orang Indonesia Timur lebih suka warna yang cerah, sedangkan masyarakat di Pulau Jawa lebih suka warna soft. Menurut Dimas, hal itu ia ketahui berdasarkan suvei pasar, karena ia sendiri sudah pernah berkecimpung di dunia perdagangan sejak 2007. Jadi, tugas mereka saat ini adalah berusaha bagaimana mengikuti keinginan pasar sambil menyelipkan sedikit idealisme.


LARVA: 0811-812-1209 / 0812-139-08-810
BB PIN: 2ABF64F1
021-235-74-047




reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/02/dhini-aminarti-dimas-seto-berbisnis.html
Read More