Sunday, February 7, 2016

KISAH SUKSES USAHA TURUN TEMURUN KAIN TENUN LURIK DI PEDAN, KLATEN




Kawasan Pedan, Klaten, Jawa Tengah, sudah sekian lama menjadi sentra lurik. Pasang surut mewarnai perjalanannya. Banyak pula yang tumbang. Namun, lewat tangan kreatif generasi baru, lurik kembali menggeliat dan terangkat.

Riwayat tenun tradisional lurik di kota kecil Pedan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, memang sudah berusia sangat panjang. Kain bermotif garis-garis itu sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Kediri. Berlanjut ke masa Mataram, Pajang, Yogyakarta, Surakarta, dan akhirnya sampailah ke Pedan. Pada tahun 1938, seorang pengusaha Pedan bernama Suhardi Hadi Sumarto menimba ilmu ke Textiel Inrichting Bandoeng (sekarang Sekolah Tinggi Teknologi Bandung). Sepulang dari Bandung, Suhardi mempraktikkan ilmu membuat tenun lurik bersama saudara-saudaranya. Mereka lantas membuat perusahaan keluarga. Usaha mereka pun berhasil, sehingga menjadikan keluarga Suhardi kaya raya.

Semula hanya keluarga Suhardi yang menjadi pengrajin lurik. Sampai akhirnya tahun 1948 terjadi Agresi Belanda yang mengakibatkan hampir semua warga Pedan mengungsi. Selama di pengungsian, karyawan Suhardi memberikan ilmu tenun kepada sesama pengungsi. Tahun 1950 ketika situasi kembali normal, pengungsi kembali ke rumah masing-masing dan ikut-ikutan membuka usaha tenun. Ibarat cendawan di musim penghujan, banyak warga Pedan yang mendirikan usaha tenun dengan menggunakan ATBM itu. Salah satunya adalah Atmo Prawiro, yang pada akhirnya dikenal sebagai pengusaha lurik sukses. Usaha lurik yang dijalaninya itu bahkan berhasil membiayai pendidikan putranya, Rachmad, hingga mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.





Di masa kuliah inilah, Rachmad kemudian mencoba ikut mengembangkan usaha lurik ayahnya. Ia mencermati mode pakaian orang kota sekaligus mencari tahu bahan busana apa yang bisa mereka kenakan. Saat pulang ke Pedan, Rachmad telah membawa bekal ilmu berupa bahan benang yang bagus untuk tenun lurik. Dan Rachmad pun akhirnya memutuskan untuk jadi pengusaha lurik dengan nama Sumber Sandang. Dalam kenangan Rachmad, periode tahun 50-an merupakan masa keemasan lurik. Saat itu kemakmuran masyarakat Pedan merata. Di masa kejayaan lurik, ada sekitar 500 pengusaha dengan sekitar 60 ribu orang pegawai di seluruh Kabupaten Klaten yang berpusat di Pedan. Pemasaran lurik pun sampai ke seluruh wilayah Indonesia. Lurik apa pun yang dibuat selalu laku keras. Bahkan Rachmad mengaku dirinya saat itu bisa mendapatkan untung besar sampai 120 persen.

Menurut Rachmad, keberhasilan para pengusaha lurik tak lepas dari campur tangan negara yang berpedoman berdikari, termasuk di bidang sandang. Segala kebutuhan pokok penduduk kala itu tidak bergantung dengan luar. Bahkan di setiap wilayah Indonesia terdapat koperasi tenun. Pemerintah juga berupaya agar harga bahan tidak dipermainkan oleh tengkulak. Salah satu caranya adalah orang tidak boleh mengimpor bahan seenaknya. Akan tetapi situasi berubah di masa Orde Baru ketika pemerintah mengizinkan Penanaman Modal Asing. Industri tekstil bermodal besar pun bermunculan. Sampai akhirnya di tahun 1973, usaha rakyat mengalami masa senjakala. Benteng-benteng koperasi banyak yang jebol. Industri kecil tradisional tergilas pemodal besar. Usaha lurik pun seperti hidup segan, mati tak mau. Saat itu bertepatan dengan masuknya mesin tekstil yang menyerbu Indonesia.

Di antara sekian banyak pengusaha yang tumbang, Rachmad masih bertahan. Ia berupaya terus berinovasi agar lurik kembali terangkat. Pada tahun 80-an, ia sempat pergi ke Bali untuk menjajakan contoh barang. Di sana, ia bertemu dengan orang Jerman yang langsung memesan dalam jumlah besar. Rachmad masih ingat, harga per meter kain luriknya saat itu masih Rp 5000. Kemudian dikisahkan Rachmad kembali, lurik sempat kembali terangkat di tahun 80-an. Ketika itu, gubernur Jawa Tengah, Ismail, mewajibkan pegawai negri mengenakan lurik, sehingga ada angin baru bagi para pengusaha UKM. Rachmad pun terus berupaya mengembangkan motif. Pada intinya, lurik itu merupakan motif kain berupa garis-garis kecil dengan 2-5 warna. Ada beberapa motif lurik yang hingga sekarang penciptanya tidak diketahui. Misalnya saja motif ketan ireng, ketan salak, kijing miring, sodo sak ler, kembang bayem, kembang sembukan, rinding putung, dom kecer (hujan gerimis), dan tumbar pecah.





Namun, perjalanan lurik tradisional kembali mengalami masa surut ketika muncul usaha pabrik yang membuat lurik murah dengan teknik cap. UKM pun ambruk lagi. Tapi lagi-lagi, Rachmad mencoba untuk terus bertahan. Yang membahagiakannya adalah, anaknya saat ini ikut meneruskan usahanya, bahkan terus berupaya mengembangkannya. Arif Purnawan, putra Rachmad ini, memang ingin dapat terus melanjutkan budaya lurik nenek moyangnya. Semasa remaja, ia sudah membantu sekaligus menimba ilmu lurik dari ayahnya. Sudah sejak tahun 1994, Arif menggeluti lurik. Dan ia adalah satu-satunya anak Rachmad yang menyukai lurik. Bakan kini selain membantu usaha orangtuanya, ia juga membuka usaha sendiri yang diberinya nama PT Warisan Multi Tenun.

Tak sekedar belajar, anak kedua dari 8 bersaudara ini juga mengamati jatuh bangun usaha ayahnya. Salah satu kelemahan lurik menurut Arif adalah motifnya yang cenderung monoton. Karena memang berdasarkan penjelasan orangtuanya lurik itu memang artinya motif garis-garis. Namun, dari pengalaman itu akhirnya banyak produksi lurik yang menumpuk dan tidak laku terjual. Arif menyadari pengusaha lurik yang ada di Pedan pada umumnya memang monoton. Karena tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, akibatnya banyak yang tertinggal dan akhirnya harus tutup. Arif pun berupaya agar pasar kembali melirik lurik. Caranya untuk membangkitkan gairah pembeli adalah dengan berupaya mengikuti trend. Arif memang tidak puas dengan motif lurik yang hanya garis-garis. Menurutnya, kalau motifnya kuno, tentu akan ditinggalkan. Oleh karena itu, ia harus mengembangkan sesuai dengan zaman.





Meskipun begitu, pengembangan motif ini diusahakan tidak meninggalkan patron. Misalnya saja ia memadukan lurik dengan motif tenun Papua atau Sumba. Arif mulai mengotak-atik agar motif lurik semakin kaya. Saat ini, ia mengangkat motif bertema Nusantara, antara lain dengan memadukan tenun ikat, tenun bobby, dan tenun songket. Dari perpaduan itu lurik menjadi tidak ditinggalkan tapi justru terangkat kembali. Tidak hanya itu, alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Krisna Dwipayana ini, juga memperhatikan keinginan pasar, misalnya saja soal warna. Kalau saat ini orang senang dengan warna yang ngejreng, ia harus membuat lurik dengan warna-warna yang ngejreng pula. Dari hasil kreativitasnya, Arif bisa mengangkat kembali model tahun 60-an dengan paduan motif lain.

Kreasi modifikasinya ini pun membuahkan hasil positif. Bahkan Arif berhasil bekerja sama dengan sebuah perusahaan eksportir di Yogyakarta untuk mengirim lurik ke sebuah mal besar di Amerika Serikat. Awalnya ia mengajukan motif dengan bahan berkualitas, sampai akhirnya disetujui. Tentu saja, kualitasnya harus benar-benar bagus. Ia harus mendidik pengrajin untuk memenuhi pasar ekspor ini. Sampai sekarang, kerja sama ini masih terus berjalan. Tak ketinggalan, Arif juga menggarap pasar lokal. Ia memenuhi kebutuhan sandang untuk masyarakat di luar pulau Jawa, terutama kawasan Indonesia Timur. Bakan, ia tak segan menjalin kerja sama sekaligus memberi pelatihan kepada pengrajin setempat. Arif mengaku, pernah memberi pelatihan pada pengrajin di Kupang, perbatasan Timor Leste, Palangkaraya, dan Padang. Ia membina dan mendidik pengusaha di sana, sampai bisa berjalan sendiri barulah ia lepas.

Arif memang tak segan berbagi ilmu. Menurutnya dengan berbagi ilmu, ia bisa mendapatkan lebih banyak ilmu lagi. Arif juga merasa usahanya ini tidak pernah tergantung dengan pemerintah. Bahkan, terkadang pemerintah malah tidak mendukung. Misalnya saja, pernah Pemda setempat mewajibkan pegawai negeri memakai lurik, tapi begitu berganti bupati, kebijakan itu pun juga berhenti. Itu sebabnya Arif terus berupaya mencari terobosan. Ia gencar berpromosi lewat media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan seterusnya. Ia memang harus pintar menggunakan berbagai macam trik supaya lurik tetap dikenal. Dan ternyata respons masyarakat pun masih besar. Arif menjelaskan, saat ini di Pedan tinggal tersisa belasan pengrajin. Itu pun kebanyakan masih memproduksi lurik dengan corak monoton.





Kreativitas Arif juga ditunjukkan ketika ia membuat pashmina dengan motif lurik. Arif memang mengamati bahwa pasar hijab begitu besar, bahkan sudah menjadi mode. Hasilnya, pashmina-nya pun juga laris manis. Berkat berbagai usahanya ini, Arif boleh dibilang termasuk pengrajin lurik terdepan di Pedan. Dalam menjalankan usahanya, ia dibantu 40-an karyawan, di antaranya khusus membuat lurik untuk pasar ekspor. Sebenarnya, menurut Arif, pasar lurik produksinya masih sangat besar. Hanya saja ia terkendala dengan SDM. Oleh karena itu ia terus berusaha mendidik para pengrajin. Selain itu, ia juga tengah merancang alat tenun yang sebagian dijalankan dengan mesin. Tentu agar produksinya makin besar.

Soal harga, menurut Arif bervariasi sesuai bahan. Untuk bahan sutera, per potongnya mencapai ratusan ribu. Sementara untuk bahan kelas 2, harganya di kisaran Rp 80.000. Lalu katun bisa antara Rp 55 ribu ?Rp 60 ribu. Kini, Arif pun juga kerap mendapatkan pesanan dari berbagai instansi. Untuk bisa sukses menjalankan usaha turun temurun ini, Arif menyampaikan beberapa kiat sukses. Yaitu, belajar dari kegagalan dan keberhasilan orangtuanya. Lalu selalu berupaya untuk terus mengembangkannya. Intinya, jangan sampai pasar meninggalkan usahanya. Arif yang masih akan terus mengembangkan budaya Nusantara ini bertekad, lurik akan tetap hidup, selamanya.





reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/08/kisah-sukses-usaha-turun-temurun-kain.html
Read More

ZASKIA SUNGKAR, Bisnis Hijab Dengan Gaya Non Feminin




Selain sibuk menjalankan bisnis Production Housebersama sang suami, Irwansyah, kini Zaskia Sungkar juga tengah menikmati hobi barunya di bidang fashion. Dari hobinya itu akhirnya ia membuat clothing line yang diberi nama HF by Zaskia Sungkar. HF merupakan singkatan dari Hijabi Fashion by Zakia Sungkar.

Tadinya Zaskia mengaku sempat tidak percaya diri kalau harus memakai merek dengan namanya sendiri. Tapi di sisi lain ia juga tetap ingin busana muslim yang dihadirkannya itu bisa dikenal sebagai karyanya. HF by Zaskia Sungkar menyediakan fashion hijab dengan segala jenis gaya, kecuali feminin.



Keinginan Zaskia membuat clothing line berawal dari kegemarannya mem-posting gaya berbusananya di salah satu jejaring sosial. Lantaran banyak yang bertanya soal gayanya, mulailah Zaskia terpikir untuk membuka clothing line. Persiapannya pun memakan waktu cukup lama. Bahkan, menurut Zaskia cita-citanya itu sempat hampir tidak terwujud karena ia harus mengurusi semuanya sendiri. Tapi untungnya sekarang, ia sudah dibantu sang Bunda untuk mengurusi bisnisnya ini. Baginya, peran sang Bunda sangat berpengaruh sekali.

Saat ini bisnis clothing line-nya sudah berjalan dan pasarnya pun cukup menjanjikan. Bila di awal ia hanya memiliki dua penjahit, tapi saat ini ia sudah bisa memiliki sembilan mesin jahit. Bahkan, menurut Zaskia jumlah itu pun masih kurang, karena pesanan yang datang makin banyak. Zaskia sama sekali tidak menyangka bisnis yang digelutinya ini bisa berjalan besar, melebihi apa yang ia bayangkan bersama sang Bunda. Biasanya ia hanya membuat selusin busana, namun sekarang kapasitas produksinya sudah mencapai 100 potong busana, dan penjualannya langsung habis dalam sehari.



CONTACT : HF by Zaskia Sungkar
Ruko Sentra Menteng MN-37, Sektor-7 Bintaro-Tangerang Selatan
Telp. 021-7459969, 7454518
hfbyzaskiasungkar.com

amura courier
: layanan jasa kurir untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Cepat, professional, dan bertanggung jawab. Tlp & sms : 085695138867


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2013/11/zaskia-sungkar-bisnis-hijab-dengan-gaya.html
Read More

NARWATI : Mantan TKW Yang Sukses Menjadi Pengusaha Kue, Tas, dan Batik di Kampungnya



Ibu dua anak asal Ponorogo ini sempat berangkat ke Taiwan sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk mencari modal usaha. Pulang dari negeri tetangga, perempuan berusia 43 tahun ini pun berusaha keras mengajak para mantan TKW untuk berwirausaha di kampung halaman. Kini, ia berhasil memberdayakan 50-an rekan senasib lewat usaha bersama yang dikembangkannya.

Narwati tinggal di Desa Limbah, Kecamatan Babatan, Ponorogo, Jawa Timur. Babatan adalah kantung TKW terbesar di Ponorogo. Selama ini, ia sering menyaksikan para TKW berperilaku hidup sangat konsumtif. Usai masa kontraknya habis, mereka pulang ke kampung dengan membawa penghasilan selama bekerja. Uang hasil jerih payah menjadi TKW, dihabiskan dengan membeli barang-barang yang tak perlu. Setelah uang habis, mereka balik lagi menjadi TKW. Narwati pun bertanya dalam hati, sampai kapankah mereka bersikap seperti itu ? Oleh karena itu, ia pun berusaha memotong mata rantai supaya mereka tidak balik lagi. Ia ingin para wanita Indonesia yang sudah memiliki modal, tidak usah berangkat lagi. Karena sebaik apa pun di negeri orang, masih lebih baik di negeri sendiri.

Narwati memang memahami benar masalah TKW, karena ia pernah menjadi TKW seperti mereka dan tahu betul bagaimana beratnya menjadi TKW. Dulu, ia menjadi TKW dengan tujuan mencari modal. Setelah modal terkumpul, ia berencana akan balik ke desa untuk membuka usaha kecil-kecilan. Saat itu, setelah menikah dengan suaminya, Achmadi Adi Nagoro di awal tahun 1992, kondisi ekonomi keluarganya memang kurang baik. Suaminya hanyalah seorang guru honorer di sebuah SMP. Penghasilannya belum bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sementara Narwati sendiri, sebagai lulusan D3 jurusan Bahasa Inggris salah satu PTS di Ponorogo, ternyata tidak mudah mencari pekerjaan. Maka cara yang paling mudah adalah dengan menjadi TKW.

Ia mengakui, sebenarnya keputusan menjadi TKW sangat berat. Bisa dibayangkan, saat itu ia dan suaminya adalah pengantin baru, tapi harus hidup terpisah. Namun keputusan itu tetap harus dijalani karena memang tidak ada pilihan lain. Menjadi TKW adalah jalan paling memungkinkan untuk mendapatkan modal usaha. Sementara kalau mengambil kredit di bank, ia khawatir tak bisa mengembalikan. Setelah berembuk dengan suami, mereka pun sepakat untuk sementara berpisah demi masa depan keluarga yang lebih baik. Setelah mengurus segala persyaratan, Narwati pun berangkat ke Taiwan. Ia beruntung di sana tinggal di salah satu keluarga yang cukup baik dan tidak pernah mengalami kekerasan. Sehari-hari, ia melakukan pekerjaan selayaknya pembantu rumah tangga. Selain itu, ia juga mengajari anak-anak majikannya belajar Bahasa Inggris dan terkadang Matematika. Setiap bulan, ia mendapatkan gaji yang kalau dirupiahkan sebesar Rp 3 juta, yang langsung ia tabung.

Selama menjadi TKW, Narwati melihat ada beberapa dampak yang kurang baik di lingkungan tenaga kerja Indonesia, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga. Banyak sekali terjadi perselingkuhan, baik itu di pihak wanita maupun pria, karena jauh dari keluarga. Bagi yang sudah memiliki anak, perpisahan dalam rentang waktu sekian lama itu juga memberi dampak psikologis yang kurang baik buat anak. Dan masih banyak lagi sisi yang tidak bagusnya.

Setelah menghabiskan kontrak kerja selama tiga tahun, mulai 1992-1995, selanjutnya Narwati memutuskan kembali ke kampung halaman. Seperti yang sudah ia rencanakan sejak awal, uang penghasilan sebagai TKW ia jadikan modal usaha di rumah. Saat itu ia membuka toko sembako. Selain itu sisa uang yang masih ada dijadikan modal usaha penggemukan sapi yang dijalankan ayahnya. Beruntung semuanya berjalan dengan baik. Narwati berpikir, teman-temannya sesama TKW pastinya bisa juga menjalankan usaha seperti yang ia jalani. Ia pun tak pernah berhenti berusaha, bagaimana caranya memiliki usaha baru yang dapat memberdayakan perempuan. Terutama ia ingin menggandeng teman-teman TKW agar mereka tidak kepincut balik lagi ke luar negeri.

Kebetulan di tahun 2010 ada pelatihan dari Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) untuk para mantan TKW. Menurut Narwati ini merupakan salah satu bekal untuk memulai langkahnya. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk mengumpulkan teman-temannya. Ia mengajak teman-temannya untuk membuat koperasi. Namun sayangnya saat itu mereka sudah tidak punya modal. Beruntung, teman-temannya itu ternyata mempunyai beberapa ide yang sangat kreatif. Salah satunya dengan membuat kue kering untuk dijual. Narwati pun menyanggupi untuk menyediakan peralatan dan bahan yang dibutuhkan. Ia juga ikut membantu memasarkan ke beberapa instansi dan menitipkannya di toko-toko. Ternyata, usaha kue itu lumayan sukses dan berjalan lancar sampai sekarang. Hasil keuntungannya tidak dibagi tapi dikumpulkan untuk modal bersama.

Suasana saat teman-temannya berkumpul untuk membuat kue pun sangat seru. Misalnya saat menjelang Lebaran, teman-temannya itu berkumpul di rumah Narwati. Mereka membuat adonan sampai jadi, lalu menatanya di wadah bersama-sama. Kemudian Narwati yang bertugas memasarkannya. Setelah modal terkumpul, sekarang mereka pun sudah mempunyai koperasi kecil-kecilan. Tentu koperasi ini untuk menunjang kebutuhan anggotanya. Sampai akhirnya, keuntungan dari hasil usaha kue itu, bisa dibagikan kepada para anggota.

Setelah sukses membuat usaha kue, Narwati mulai menambah ke cabang keterampilan yang lain yaitu membuat tas anyaman berbahan plastik. Kebetulan, ia sudah menguasai keterampilan ini sejak remaja. Ia membuat bermacam-macam tas. Mulai tas untuk ke pasar, bepergian, sampai tas mini yang biasa digunakan untuk suvenir hajatan. Narwati kemudian membagikan ilmu membuat tas itu kepada teman-teman di kelompoknya. Bahan-bahannya ia yang menyediakan. Belajar membuat tas sendiri cukup mudah, yang penting adalah ketelatenan. Dalam waktu relatif singkat, teman-temannya pun sudah bisa membuat tas.

Seperti halnya dengan usaha kue, Narwati sendiri yang kemudian juga memasarkan tas-tas karya teman-temannya itu. Ia bersyukur, usaha yang ia jalankan dimudahkan Tuhan. Sekarang ini sudah sekitar 50 orang yang sehari-hari membuat tas. Yang menyenangkan teman-temannya, pekerjaan membuat tas itu bisa dilakukan dirumah masing-masing. Jadi, sambil mengasuh anak-anak, para ibu bisa menganyam tas. Hasilnya cukup lumayan. Untuk satu tas, mereka mendapat Rp. 6000. Padahal dalah sehari satu orang bisa memproduksi 10 tas. Uang sebesar Rp 60.000 sehari untuk ukuran warga desa di tempat tinggalnya sudah sangat berarti guna menunjang ekonomi keluarga.

Usaha Narwati tidak berhenti sampai di situ saja. Kreativitasnya tak kunjung padam. Ia kembali membuat lini usaha baru yaitu batik, dengan tujuan ingin mengembangkan batik di desanya. Sebelumnya ia memang tidak paham membatik. Tahun 2012, ia pun belajar membatik di Solo. Di sana ia mempelajari dari awal proses membatik, termasuk membuat desain sampai proses lembaran kain jadi. Setelah menguasai ilmu membatik, ia kemudian membagikan ilmu tersebut kepada teman-temannya. Sekarang, teman-temannya pun sudah bisa membatik. Meskipun ada yang pengerjaannya masih agak kasar, tapi ada juga yang sudah halus.

Awalnya, Narwati mengajari membatik untuk taplak meja. Soal desain, ia membebaskan teman-temannya untuk berkreasi. Ia hanya mengarahkan proses pembuatannya saja. Hasil kreasi mereka pun boleh dibawa pulang. Dari situ, mereka pun senang sekali dan semakin semangat untuk membuat desain batik yang bagus. Untuk lini usaha batik ini, ia beri nama Mahkota Ponorogo. Kemudian Narwati mendapat kesempatan untuk mengikuti pameran yang diselenggarakan dinas terkait. Dari event pameran itulah, Mahkota Ponorogo mulai dikenal banyak kalangan. Bahkan, pembelinya banyak pejabat daerah. Menariknya, banyak yang membeli hingga tiga produk sekaligus. Sering orang membeli batik dan kue kering, yang dimasukkan ke dalam tas plastik anyaman.

Narwati menginginkan tiga usaha yang ia kembangkan ini bisa lebih maju lagi. Namun setidaknya saat ini ia sudah lega karena berhasil mengajak teman-teman mantan TKW untuk berkreasi di kampung sendiri. Kini mereka sudah tak tertarik lagi bekerja di negeri orang.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/11/narwati-mantan-tkw-yang-sukses-menjadi.html
Read More

WHULANDARY HERMAN : Buka Tempat Pijat Refleksi Di Kota Asal, Padang.




Setelah berhasil meraih gelar Puteri Indonesia 2013, Whulandary Herman langsung melebarkan sayapnya di dunia hiburan. Selain berkarier di dunia modelling, dara kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, ini juga menjadi presenter. Kedua profesi tersebut tentu saja menuntutnya untuk selalu tampil cantik dan prima. Tak heran jika Whulan juga sangat memperhatikan perawatan tubuhnya, salah satunya dengan rutin melakukan lulur dan scrubbing. Namun, untuk semua jenis perawatan itu, ia lebih suka melakukannya sendiri di rumah.

Perempuan yang berhasil masuk 16 besar saat mengikuti ajang Miss Universe 2013 silam ini mengaku, sebenarnya dirnya bukan tipikal wanita yang senang ke salon. Jadi semua perawatan tubuhnya seperti masker, luluran, ia lebih suka melakukannya di rumah, karena suasananya terasa lebih nyaman dan tenang.

Tak hanya perawatan kecantikan, Whulan juga selalu menjaga kebugaran tubuhnya dengan rutin mengikuti olahraga zumba dan yoga lima kali dalam seminggu. Selain itu, Whulan juga membeberkan resep rahasia agar tubuhnya selalu fit. Ia mengaku terbiasa melakukan pijat refleksi, khususnya di bagian kaki. Setelah aktif di modelling, ia memang jadi sering memakai sepatu high heels. Selain itu pekerjaannya juga lebih banyak berdiri. Oleh karena itu ia merasa sangat membutuhkan pijat refleksi. Di manapun, kalau kakinya terasa pegal, dan melihat ada tempat pijat refleksi, ia pasti selalu mengusahakan mampir. Atau kalau sedang ada acara fashion show di mal, ia selalu menunggu di tempat refleksi yang ada di mal itu. Whulan mengaku setiap minggu pasti akan mampir ke tempat pijat refleksi.

Apa yang membuatnya begitu menggemari terapi tersebut ? Menurut pemilik tinggi badan 178 cm ini, dengan refleksi bisa membuatnya merasa lebi tenang, kaki tidak pegal-pegal lagi, dan bekerja pun akan menjadi lebih semangat. Dari hobinya tersebut, Whulan lalu melihat celah bisnis yang bagus. Di kota asalnya, Padang, ia melihat belum banyak tempat untuk pijat refleksi. Karenanya, ia pun membuat gerai Pijat Refleksi by Whulandary. Meski baru dibuka di bulan Agustus 2014, Whulan mengakui respons masyarakat setempat sangat bagus. Whulan bahkan sudah berencana akan membuka gerai lagi di kota Medan dan Pekanbaru.


Menurut Whulan, tempat refleksinya memiliki keunggulan untuk kenyamanan pengunjung. Tempatnya memang lebih eksklusif, karena dilengkapi dengan kamar VIP dan wi-fi. Di tempat refleksinya, Whulan juga menyediakan pilihan lotion, oil, dan bedak. Untuk lotion, khusus ia order dengan ramuan sendiri, seperti campuran dari sayuran dan rempah-rempah. Whulan saat ini telah mepekerjakan 6 orang terapis yang didatangkan dari Pulau Jawa.

Whulandary Reflexology : Jl.Raya bypass 7 , Depan RS Semen Padang. Padang. Sumatera Barat.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/10/whulandary-herman-buka-tempat-pijat.html
Read More