Saturday, January 23, 2016

EPIE SANTOSO, Desainer Tas Dan Selop Dari Kain Sisa Baju Pesta dan Kebaya Pengantin.




Punya kemampuan membuat tas eksklusif berkelas butik tak membuat Epie Santoso menyimpannya untuk diri sendiri. Itu sebabnya, selain menerima pesanan untuk keperluan pribadi seperti pesta dan pengantin, dengan senang hati ia juga menerima pesanan dari orang-orang yang ingin berbisnis tas. Epie memulai usaha ini tak lama setelah perusahaan tempatnya bekerja terkena imbas krisis moneter tahun 1998. Tak mau terpuruk, Epie segera memutar otak supaya tetap berpenghasilan. Ia menyadari, talentanya terletak pada tas dan selop. Menurutnya, ia sangat senang melihat perempuan mengenakan tas dan sepatu dari bahan yang sama, yang sering dilihatnya di majalah bekas dari luar negeri. Lantas ia pun memutuskan untuk masuk ke bisnis dunia fashion dengan menghadirkan produk pelengkap busana tersebut.



Awalnya ia membuat dompet. Modal Epie hanya mesin jahit dan bahan kain sisa dari penjahit di butik-butik baju pesta dan kebaya pengantin di Bintaro, Tangerang, daerah tempat tinggalnya. Bila ada sisa kain, mereka akan menawari kliennya untuk membuat tas dan selopnya sekaligus. Kalau klien setuju, pembuatannya langsung diserahkan kepada Epie, lalu ia berbagi keuntungan dengan butik. Setelah mendapat pegawai, ia menjual produknya di pasar pagi Bintaro tiap hari Minggu. Epie lalu mulai memproduksi tas besar. Ia mencari tukang pembuat tas yang sudah profesional, lalu ia amati proses produksinya. Akhirnya, ia pun bisa membuatnya sendiri bahkan jadi lebih pintar dari tukangnya. Epie memang mengkhususkan diri pada produk berbahan tekstil. Selain itu ia juga memberikan sentuhan akhir (finishing) yang berbeda dengan menggunakan payet dan aksesori lainnya.




Setelah dua tahun, ia juga membuat selop atas permintaan pelanggan. Produk buatan Epie pun menjadi eksklusif karena tak ada yang menyamai. Tak hanya itu, Epie juga memasang iklan di majalah kompleksnya. Dari situlah, satu persatu pelanggan Epie datang ke rumahnya untuk memesan langsung. Usahanya pun makin berkembang. Lantaran Epie juga menjual jasa bagi para pemilik toko sepatu, ia tak bisa memiliki brand khusus. Namun, baginya ia tak mempermasalahkan hal itu, karena menomor duakan merek. Yang penting baginya adalah perputaran usaha yang sudah dijalani sejak 2001 ini tetap lancar. Menurutnya, bisnis di bidang ini cukup menjanjikan, karena buatan tangan, jadi tak semua orang bisa membuatnya.

Dikatakan Epie, usahanya ini mengandung nilai seni tinggi. Itu sebabnya, ia mewajibkan setiap pegawainya memiliki rasa cinta pada seni. Motto usahanya ini adalah seni yang muncul dari dalam hati. Karena kalau mengerjakannya seenaknya, hasilnya tidak akan bagus. Kini, bahan yang digunakannya antara lain tenun, batik, brokat, sutera, katun, jok kursi, bahkan tikar. Aksesori pelengkapnya antara lain kulit sapi, kulit ular, dan kulit kambing. Selain batik, kain tradisional yang juga banyak dibawa pelanggannya belakangan ini adalah kain dari berbagai daerah. Antara lain batik Bali, tenun Sintang, dan tenun Toraja. Produksinya kini memang makin laris. Peserta lomba desain busana sering memesan selop Epie. Tak sedikit pula pasangan calon pengantin yang datang ke rumahnya. Kalau sudah masuk musim pengantin, ia bisa mendapat pesanan beberapa pasang sekaligus.



Pernah pula ada seorang ibu empat anak yang memesan selop setiap kali menikahkan anaknya. Bahkan kalau pelanggannya itu sudah kenal dekat, mereka juga suka mengundang Epie datang ke pesta yang mereka gelar. Bagi Epie, rasanya senang dan puas sekali kalau melihat mereka berjalan beriringan mengenakan selop buatannya. Pesanan biasanya ramai menjelang Lebaran, Natal, musim pernikahan dan pameran. Untuk sepasang selop dan tas tangan dengan payet penuh, menurut Epie yang juga memasarkan jasanya lewat Facebook dengan akun Elittas Shop, harganya sekitar Rp 1 juta. Harga selop untuk bahan yang dibawa sendiri, dipotong Rp 25 ribu. Untuk dompet dan tas, harganya mulai Rp 150-250 ribu sebelum diberi sentuhan akhir.

Epie yang kini dibantu 12 orang pegawai, juga sudah menulis buku Rahasia Membuat Clutch Bag. Lewat bukunya, perempuan asal Yogyakarta ini ingin berbagi ilmu. Harapan Epie, cara ini akan menumbuhkan banyak pengusaha tas dan selop baru seperti dirinya. Tak takut bersaing, Epie justru menganggap hal itu positif. Ia menganggapnya sebagai mitra kerja, karena dengan mereka nantinya ia bisa berbagi order.

Hubungi kami di :

Toko Elittas
Tlp. 021.7360311 ? hp. 0815.8377664


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/09/epie-santoso-desainer-tas-dan-selop.html
Read More

RETTA DAN IVAN : PERKENALKAN BATIK DENIM MELALUI LABEL LAZULI SARAE




Berawal memenangi suatu kompetisi, duo sahabat Maretta Astri Nirmanda dan Ivan Kurniawan akhirnya menekuni bisnis batik denim. Mengusung bendera Lazuli Sarae, mereka sukses memberikan inovasi dan terobosan pada pasar batik denim. Kini, produknya tak hanya laku di pasar lokal, namun sudah mulai merambah hingga ke mancanegara.

Awal terjun berbisnis batik bermula ketika Ivan membaca informasi ada kompetisi yang dibuat oleh Kementrian Perdagangan tentang Lomba Rencana Bisnis Kreatif 2010. Ia pun tertarik, lalu mengajak Retta untuk ikut lomba tersebut. Retta pun menyanggupi. Setelah diskusi Retta lalu mengusulkan untuk menggunakan tugas akhir rekan kampusnya yang bernama Gilang yang kemudian disepakati menjadi dasar ide bisnis mereka. Rencana bisnis yang mereka ajukan saat itu berjudul ?Eksplorasi Reka Batik Pada Material Denim?. Beruntung, mereka berhasil menang menjadi juara 2 dan mendapatkan hadiah uang sebesar Rp 10 juta.

Setelah berhasil memenangi kompetisi itu, mereka tidak ingin hanya sekedar teori saja tapi langsung mengaplikasikannya dalam bentuk bisnis yang nyata. Ternyata, untuk mewujudkannya tidak mudah. Mereka sempat melakukan riset produk yang cukup memakan waktu dan juga biaya. Apalagi saat tes pasar, awalnya tidak ada yang membeli. Lalu untuk memudahkan semuanya, mereka sepakat mendirikan CV Lazuli Sarae dengan tambahan modal. Ivan mengingat, waktu itu modal awal yang dikeluarkan untuk biaya riset sampai dengan produksi menghabiskan sekitar Rp 60 jutaan. Itu pun juga tidak berasal dari kantong mereka pribadi tapi juga sempat mengajak teman-teman yg lain untuk ikut berinvestasi. Tak hanya modal yang menjadi permasalahan, tapi juga soal pengalaman untuk berbisnis karena tak satu pun dari mereka yang mempunyai backgroundbisnis. Retta adalah lulusan Kriya Tekstil ITB sedangkan Ivan sendiri mengambil jurusan Tehnik Informatika. Namun semuanya menjadi pengalaman berharga bagi keduanya. Proses trial & errorterus mereka lakukan agar bisa menjadi evaluasi. Menurut mereka, saat itu adalah masa-masa yang penuh tantangan.




Di antara tantangan yang mereka hadapi, antara lain banyak vendor yang tidak mau menerima pembuatan sample. Padahal, mereka berani membayar lebih tinggi. Mereka pun terus melakukan promosi. Saat promosi menggunakan jejaring sosial, mereka mengajak teman-teman sendiri sebagai model, bahkan tak jarang mereka pun juga ikut menjadi modelnya. Saat mengikuti bazar, ternyata produk mereka juga tidak banyak yang laku. Strategi bisnis yang mereka lakukan saat itu memang masih banyak yang perlu dievaluasi. Kala itu, semua bazar yang mereka ikuti tidak dipilah terlebih dahulu, bentuk kartu nama juga kurang menarik, display untuk bazar pun masih meminjam. Selain itu, saat produksi mereka mengandalkan personal order yang terbilang lama, bisa sampai sebulan selesainya.

Meski menyadari apa yang mereka lakukan banyak yang salah, tapi semuanya menjadi lesson learned bagi mereka. Semua pengalaman itu membuat mereka berbenah. Untungnya saat itu mereka juga ikut gerakan wirausaha nasional. Mereka pun memanfatkan mentoringdari para ahli yang ada di situ. Setelah itu mereka serius membuat katalog produk dan clothing line dengan bendera Lazuli Sarae serta mendirikan CV Sarae di tahun 2011. Mereka sepakat menggunakan brand Lazuli Sarae. Lazuli diambil dari kata lazhward, bahasa Persia yang artinya biru. Sementara saraedalam bahasa Sunda tempat mereka berasal yang artinya adalah bagus. Ketika digabungkan, nama itu pun bisa diterima universal karena tujuan mereka memang ingin go international. Namun, untuk mengawalinya mereka hanya ingin bisa diterima di pasar global dulu, sekaligus ingin mempopulerkan batik dengan denim di kalangan anak muda.

Setelah melihat perkembangannya semakin baik, Ivan pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan mulai makin serius menekuni bisnis ini. Ia berniat untuk fokus menjalankan Lazuli Sarae secara total, tidak hanya sebagai part time saat weekendsaja. Demikian juga pada Retta. Sejak awal melihat perkembangan bisnis ini, ia juga ingin fokus menjalankan Lazuli Sarae. Namun sayangnya saat itu ia masih terikat proyek dengan kantornya. Jadi pada waktu itu ia masih harus bekerja dan berbisnis dalam waktu bersamaan dan harus merelakan bolak-balik Jakarta-Bandung setiap minggu. Tentu saja semua pikiran, waktu dan tenaga pun habis terkuras. Retta yang pada akhirnya juga ikut resign dari kantornya pun menceritakan, keputusan untuk keluar dari pekerjaannya juga cukup berat karena ia harus bisa meyakinkan kedua orang tuanya bahwa pilihannya untuk membesarkan Lazuli Sarae adalah tepat.




Ivan pun juga mengalami masalah yang sama. Awalnya kedua orangtuanya juga kurang mendukung dengan keputsannya untuk resign. Ia sadar, setiap orangtua tentu ingin anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus. Akan tetapi, dengan seringnya mengajak komunikasi dan juga setelah mereka melihat sendiri kerja keras Ivan dan hasilnya, orangtuanya pun mendukung. Bahkan saat ini dukungan mereka sudah 100 %, termasuk mau ikut mempromosikan Lazuli Sarae ke semua orang. Baik Ivan maupun Retta, sama-sama bersyukur, semua yang mereka lakukan tidak sia-sia. Seiring dengan waktu, mereka pun semakin merasakan kemajuan yang cukup berarti. Mereka berhasil menunjukkan pada orangtua bahwa dengan berwirausaha mereka pun bisa maju. Meskipun banyak yang mengatakan bahwa tidak mudah membangun usaha, tapi dengan tekad yang kuat, akhirnya semuanya bisa mereka lakukan.

Pada bulan April 2011, Lazuli Sarae mendapatkan undangan dari Departemen Perdagangan untuk ikut dalam pameran Inacraft 2011. Mereka tidak menyangka pameran ini punya andil besar karena bisa membuat mereka mampu membaca keinginan pasar. Ternyata segmen Lazuli Sarae untuk anak muda dengan harga yang cukup mahal memang bisa dilirik oleh pasar. Dari Inacraft pula, akhirnya mereka semakin termotivasi dan semangat untuk terus memberikan inovasi. Apalagi produk mereka juga sangat laku. Dalam lima hari mengikuti pameran, omzetnya bisa mencapai Rp 20 juta. Itu merupakan pengalaman yang tidak terlupakan.

Dalam industri kreatif inovasi memang harus terus dilakukan. Sejak awal target Lazuli Sarae memang untuk segmen muda dan menengah ke atas. Namun setelah semakin luas membaca pasar, ada beberapa permintaan datang untuk produk Lazuli Sarae dengan harga yang lebih murah. Dari permintaan tersebut, hadirlah Biondy by Sarae. Dan ternyata produk dengan konsep yang lebih sederhana dan lebih terjangkau harganya ini, juga mulai diminati. Selain itu, maraknya tren busana muslim juga menjadi peluang tersendiri. Mereka pun tidak ingin ketinggalan momen tersebut. Sejak 2013 lalu, hadir juga koleksi busana muslim dari Lazuli Sarae. Inovasi lain yang mereka lakukan juga adalah dengan mendiversifikasi produk. Bila dulu hanya ada atasan pria dan wanita, sekarang variasinya mulai dari kemeja, dress, blazer, jaket, dan celana pendek. Tas dan juga aksesori pun juga sudah mulai dibuat yang ternyata juga direspons baik oleh pelanggan.




Adapun yang menjadi kelebihan Lazuli Sarae adalah, produk yang dibuat memiliki nilai-nilai filosofi dalam seluruh rancangan desain. Jadi, konsepnya komprehensif. Mulai dari pemilihan bahan dan material sampai motif batik juga mereka kreasikan sendiri hingga menjadi benar-benar ciri khas Lazuli Sarae, yakni batik on denim yang berkualitas. Beberapa motif batik seperti parang juga ikut dikreasikan. Maka mereka menjamin bahwa produk yang mereka hasilkan tidak asal jadi. Kelebihan lain, selain dari produk yang dihasilkan, mereka juga memiliki beberapa kampanye yang sering dilakukan di media sosial. Mereka terus mensosialisasikan batik kepada generasi muda. Seperti tagline Lazuli Sarae, local value modern spirit, yang artinya nilai kearifan lokal yang dimiliki batik lewat denim yang akrab dengan anak muda bisa menjadi semangat baru untuk para generasi muda.
Untuk pembagian tugas, mereka bagi sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing sehingga semuanya jadi maksimal. Ivan mengurusi bagian eksternal mulai dari marketing, sales, dan administrasi termasuk konten-konten yang ada di website dan sosial media. Sementara Retta yang kebetulan lulusan Kriya Tekstil, sibuk di bagian internal yang mengurusi bidang kreatif, desain sampai produksi. Tapi itu bukan menjadi patokan karena mereka juga saling membantu dan menyemangati satu sama lain.

Setelah memulai promosi dalam ranah online, seperti website dan media sosial, serta mengikuti berbagai pameran, dari situlah mereka bertemu dengan calon-calon customer dan juga para mitra yang kemudian menjadi resellerataupun jalan buat mereka untuk masuk ke consignment store. Saat ini consignment store yang menjadi channel penjualan Lazuli Sarae adalah Alun-Alun Indonesia, Pendopo Rumah Batik & Kerajinan di Living World Alam Sutera, Sarinah Thamrin dan Pejaten Village. Sedangkan untuk onlinejuga bisa didapatkan di Zalora, Rakuten dan Hijup.com.


Lewat Lazuli Sarae pulalah mereka berhasil memenangkan 3rd Place Honda Youth Startup Icon, Winner Shell LiveWIRE Business Startup Award, 100 Youth Women Netizen Berpengaruh di Indonesia versi majalah Marketers, Wanita Wirasuaha Femina, Mandiri Most Potential Entrepreneur dan Outstanding Designer at Indonesia Creative Week.

Rencana ke depannya mereka akan terus mengembangkan dan membuat inovasi pada produk yang telah mereka hasilkan ini. Selain itu, mereka juga ingin memperluas channel penjualan, tidak hanya lokal, regional, tapi akan mengusahakan juga agar bisa diterima di pasar Internasional. Seperti motto yang terus menyemangati mereka dalam berbisnis yaitu In business and life, chalenges and obstacles will never end, keep on trying, praying and believing that there is always ways to solve that. Jadi, apa pun nanti tantangan dan hambatan yang akan datang, mereka tidak akan pernah berhenti mencoba, berdoa dan meyakini bahwa suatu saat nanti semuanya pasti akan terjadi. Intinya, mereka ingin terus fokus dan mengembangkan Lazuli Sarae, semoga semua cita-cita goes global bisa tercapai.





contact us:
E-mail : info@lazulisarae.com
Phone : +628122030607
Twitter : @lazulisarae


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/11/retta-dan-ivan-perkenalkan-batik-denim.html
Read More

MEIDYA HANUM, Pemilik Produk Busana Muslim Anak merek MEIDY. Sukses Berkat Rajin Bersedekah




Pasangan suami istri yang tinggal di Sidoarjo ini mengawali usaha produsen baju muslim anak dari bawah. Berkat kegigihan ditambah kepedulian, usahanya berkembang pesat. Bahkan distributornya tersebar di seluruh Indonesia.

Suatu siang, di sebuah rumah yang berada di Perumahan Taman Pondok Legi III, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, nampak beberapa orang tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang memotong kain, membentuk pola baju, ada yang membordir, dan sebagian besar lagi asyik menjahit. Begitulah suasana di kediaman Meidya Hanum, yang memproduksi busana muslim anak merek Meidy. Dengan dibantu 40 karyawan, Meidya melayani pelanggannya yang datang dari berbagai kota di seluruh provinsi di tanah air. Selain kerja keras, Meidya menyebut sukses usahanya ini tak lepas dari kekuatan doa dan rajin sedekah. Bersama sang suami, Krisnardi Hendro Saputro, ia memang mendirikan usaha ini dengan perjuangan yang keras sekali. Ibarat dengan darah dan air mata, mereka benar-benar merintisnya dari nol.

Ibu dua anak bertubuh mungil ini mengawali usahanya sejak tahun 2000. Ceritanya, setamat SMA Meidya sempat bekerja di sebuah kantor pengacara yang cukup ternama di Surabaya. Dengan pendidikan akhir SMA, tugasnya sehari-hari hanyalah mengetik bahan-bahan pembelaan atau surat gugatan di pengadilan. Karena tergolong rajin, pemimpin di kantornya itu pun sangat senang padanya. Namun setelah lama bekerja, Meidya merasa kariernya tak bakal berkembang kecuali hanya menjadi tukang ketik saja. Ia pun ingin lebih maju dengan kuliah di Fakultas Hukum di salah satu universitas di Surabaya. Waktu itu, ia ingin bisa menapai karier sebagai pengacara. Tapi setelah berhasil mengantongi ijazah sarjana, tiba-tiba saja ia merasa tidak sreg dengan profesi yang pernah diinginkannya itu.

Bahkan, Meidya mulai berpikir untuk keluar dan mengembangkan usaha yang lebih baik. Usaha apakah yang dijalaninya ? Meidya ingat, sejak kecil ia hobi jahit menjahit. Bahkan pernah dikursuskan ayahnya di sebuah sekolah mode di Surabaya. Belum lama mengikuti kursus, ia sudah berani mencoba membuat baby doll dan daster sendiri. Jadi, boleh dibilang dunia jahit menjahit memang sudah lama dikenalnya. Agar semangatnya makin terlecut untuk membuka usaha, ia pun segera keluar dari kantor pengacara tempatnya bekerja selama 7 tahun itu, meskipun oleh sang pemimpin diminta untuk tetap bertahan.


Dengan modal Rp 400.000 dari suaminya yang saat itu bekerja di sebuah bank, Meidya kemudian membeli kain. Lembaran kain-kain itu lalu dibuatkan pola, dipotong, kemudian dijahit. Semua itu dilakukannya sendiri di rumahnya, di sela-sela mengasuh anak pertamanya yang masih bayi. Ketika sudah menjadi daster, ia lalu menjual karyanya itu kepada para tetangga rumahnya. Dan ternyata tetangganya sangat berminat dengan produk pertamanya itu. Karena kalau dilihat dari jahitannya, daster buatannya memang terbilang bagus.


Suatu ketika, salah satu kerabat bersama anak lelakinya datang ke rumah Meidya. Bocah itu mengenakan setelan busana muslim yang bagus. Meidya sempat bertanya harganya, ternyata cukup mahal. Padahal melihat bahan maupun modelnya, Meidya yakin bisa menjahit baju seperti itu. Bahkan bisa membuatnya lebih bagus dengan harga yang lebih murah. Setelah kerabatnya pulang, Meidya langsung belanja bahan dan membuat baju muslim anak dengan warna kontras. Lagi-lagi untuk tes pasar, ia uji coba pada tetangganya. Dan ternyata semua tetangganya pun suka. Mereka bahkan tidak pernah lagi membeli baju muslim untuk anaknya di toko, tapi langsung memesan kepada Meidya.




Pelan-pelan, usaha Meidya mulai dikenal. Suatu ketika jelang Lebaran, ada teman tetangganya yang ingin pesan busana muslim anak dengan jumlah 100 stel, tapi mesti dikerjakan dalam waktu cepat. Sebagai pengusaha baru yang ingin maju, tawaran itu dianggap Meidya sebagai tantangan yang tidak boleh disia-siakan. Dengan modal pas-pasan ia segera membeli bahan yang dibutuhkan. Untuk mempercepat pengerjaan, ia meminta bantuan dua tukang jahit. Meidya dan suaminya waktu itu gembira sekali karena bakal mendapat rezeki yang lumayan besar. Suaminya pun turut membantu sebisanya, meskipun sering pulang kerja sampai larut malam.


Meidya sanggup memenuhi pesanan itu. Tapi apa yang terjadi ? Si pemesan tiba-tiba tidak ada kabar beritanya. Maka bisa dibayangkan, ia dan suaminya langsung kelimpungan. Apalagi modal yang dikeluarkan mereka sudah sangat banyak. Tentu saja mereka bingung, mau dikemanakan barang yang menumpuk sebegitu banyaknya ? Ternyata, musibah itu adalah cara Allah membukakan pintu rezeki untuk Meidya. Meidya jadi terpacu untuk memasarkan produknya ke pasar yang lebih luas. Di tengah kebingungan itu, ia dan suaminya harus berusaha ekstra keras bagaimana caranya agar baju anak-anak itu cepat terjual. Mereka kemudian sepakat berkeliling naik motor ke toko-toko pakaian anak di Surabaya untuk memasarkan barang miliknya.




Ada kejadian lucu yang selalu dikenang Meidya. Waktu itu ia dan suaminya sama-sama tak memiliki bekal ilmu marketing dan sama-sama tak pandai bicara. Sesampai di depan sebuah toko, mereka saling dorong untuk masuk lebih dulu. Bila mengingat kejadian itu, selalu memunculkan kelucuan dan sekaligus keharuan di benak Meidya. Karena bisa dibayangkan, mereka yang tidak punya pengalaman apapun soal marketing, tapi tiba-tiba harus dihadapkan pada persoalan seperti itu. Tapi karena dilakukan dengan sungguh-sungguh, kerja keras mereka pun membuahkan hasil. Barang dagangannya habis terjual. Bahkan, menjelang lebaran itu, Meidya bisa mendapat uang pemasukan lebih. Ia pun jadi tambah semangat. Pengalaman juga membuatnya makin percaya diri menghadapi konsumen. Bahkan, tak tanggung-tanggung agar lebih fokus pada usaha barunya, sang suami pun akhirnya keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan bank. Lalu, mereka berdua total bahu membahu mengembangkan usaha.


Masih dengan modal sepeda motor bebek, mereka berboncengan mengantarkan barang atau mencari pelanggan baru. Kadang, tanpa disadari sandal Meidya sampai berlubang karena sering kena knalpot motor. Usaha mereka pun semakin berkembang. Tak hanya pasar Surabaya, saat ini distributor Meidya sudah tersebar di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Tak hanya busana muslim anak, Meidya kini juga menerima seragam muslim sekolah dan busana seragam muslim dewasa untuk organisasi-organisasi Islam. Usahanya nyaris tidak ada habisnya. Bila masuk jelang Lebaran dan bertepatan masuk sekolah anak, pesanan pun pasti ramai. Selain itu, pesanan untuk seragam lembaga dakwah Islam pun juga kerap datang.




Meidya dan Krisnardi menyadari betul bahwa kesuksesan usaha mereka tidak datang begitu saja. Ada sebuah proses yang cukup panjang. Tak sekedar perjuangan duniawi semata, tapi juga perjuangan spiritual. Selain bentuk usaha yang bisa diperlihatkan secara kasat mata, sebenarnya mereka berdua juga tak henti-hentinya berdoa dan menjalankan perintah Allah. Meidya meyakini, keberhasilan usahanya ini memang tak terlepas dari anugerah Allah. Saat menerima rezeki, Meidya dan suami berusaha membaginya kepada orang lain. Ia selalu berpegang pada firman Allah, bahwa sebagian harta yang kita miliki adalah milik orang lain. Jadi ketika ia mendapat rezeki, seketika itu pula ia sisihkan 2,5 persen untuk sesama yang membutuhkan.


Sudah menjadi kebiasaan sejak mengawali usaha, Meidya akan langsung bersedekah untuk anak yatim, panti asuhan, sampai pembangunan rumah ibadah yang ada di berbagai tempat ketika habis menerima rezeki. Dan ternyata, begitu ia mengeluarkan sedekah itu, rezeki yang datang kepadanya pun semakin berlipat. Bahkan, Meidya pernah membiayai haji serta umrah orangtua, mertua, dan kerabatnya. Dan sepulang beribadah itu, Meidya merasa rezeki yang diberikan Allah semakin ditumpahkan. Meidya pun mengagumi suaminya yang tak hanya gigih bekerja, tapi juga taat dalam menjalankan ibadah. Suaminya sering melaksanakan sholat Dhuha sebelum berangkat bekerja. Dan kini, Meidya pun bercita-cita bisa memberangkatkan umrah karyawannya.



MEIDYA - Busana Anak Muslim


Workshop :

Taman Pondok Legi III blok R-1, Pepelgi Waru Sidoarjo

Contact person: Meidya Hanum 08165453891/ 031-8544885

email: meidyahanum@gmail.com



reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/08/meidya-hanum-pemilik-produk-busana.html
Read More