Saturday, January 2, 2016

KISAH SUKSES PENGRAJIN SANGGUL DARI SRAGEN




Selama puluhan tahun, Painem, perempuan asal Sragen, Jawa Tengah yang sering dijuluki Bu Sanggul ini memproduksi beragam model sanggul tradisional sampai modern. Dari sanggul gaya Solo hingga gaya selebriti seperti Manohara, Bunga Citra Lestari, hingga keong racun. Berapa pun jumlah sanggul yang diproduksinya, selalu mampu terserap pasar.

Ibu sepuluh anak ini menjadi pengrajin sanggul di rumahnya, Jalan Sawo, Sine, Sragen, Jawa Tengah. Usahanya terus berkembang dengan memperkerjakan lima karyawan yang semuanya perempuan. Para karyawan yang setiap hari bekerja di lantai dua rumahnya itu ada yang bertugas menyisir rambut, menata, kemudian merangkainya menjadi sanggul.

Sejak ia memulai usaha, sampai sekarang ia tidak pernah berhenti produksi. Sampai kapan pun tampaknya sanggul akan terus diminati, karena menjadi bagian dari budaya tradisional. Tak hanya bagi masyarakat Jawa saja, tapi sudah menjadi kebutuhan semua orang. Ketika seorang perempuan mengenakan busana tradisional misalnya, akan lebih pas bila mereka memakai sanggul. Karena itulah peminat sanggul tidak pernah surut.

Usaha sanggul yang dirintis Painem, bermula dari sang suami, Sodri, yang sempat bekerja di sebuah perusahaan pembuat sanggul. Setelah si pemilik perusahaan meninggal dunia, Sodri pun tidak bekerja lagi. Lalu sang suami mempunyai ide untuk membuka usaha sanggul sendiri. Namun saat itu Sodri tidak sanggup bekerja sendiri.

Sodri lalu mengajari tetangga sekitar untuk membuat sanggul. Sebenarnya membuat sanggul tidak terlalu sulit, tapi memang butuh kesabaran. Tak jarang ada tetangganya yang mengundurkan diri, tapi ada juga yang kemudian bersama-sama memulai usaha ini. Tak ketinggalan, Painem pun juga ikut belajar.

Proses membuat sanggul memang butuh ketelatenan. Mula-mula, bahan baku sanggul berupa rambut dicuci sampai bersih. Selanjutnya, rambut direbus sambil dikasih winter,-semacam cat pewarna untuk menghitamkan rambut. Setelah kering, barulah rambut tadi dirangkai menjadi sanggul. Sodri pun mengaku tak kesulitan mendapatkan bahan baku, karena di sekitar Sragen banyak yang menjual rambut.





Kala itu Sodri hanya membuat sanggul tradisional bergaya Solo, karena masyarakat memang lebih suka sanggul tradisional. Sementara sanggul modern dengan berbagai variasinya saat itu memang belum trend. Untuk urusan membuat sanggul, Painem dan Sodri memang termasuk jago. Sejak awal usaha, mereka berdua mengawasi pekerjaan karyawannya agar memenuhi standar kualitas yang diinginkan.

Menurut Sodri, butuh perjuangan ekstra untuk mengenalkan usahanya yang diberi nama Sanggul Dewi ini. Painem dan Sodri semula mesti menjajakan sanggulnya ke beberapa pasar di Sragen, Solo, sampai Boyolali. Di awal memulai usaha, produksinya masih belum begitu banyak. Paling, dalam seminggu hanya terjual puluhan sanggul saja. Tapi lama-kelamaan banyak pelanggan yang cocok dengan sanggul buatan pasangan suami istri ini.

Seiring waktu, Sodri pun tak perlu bersusah payah lagi membawa langsung dagangannya ke pasar. Selanjutnya ia memilih tinggal di rumah menunggu para bakul atau pedagang yang datang untuk menjual sanggul-sanggulnya. Kini Sodri pun dituntut harus memenuhi pesanan banyak pedagang.

Dalam sehari, rata-rata karyawannya bisa menyelesaikan sekitar 35 sanggul. Begitu sanggul jadi, langsung habis terjual. Diakui Sodri, barang yang tersedia tak sebanding dengan permintaan yang datang. Di rumahnya pun Sodri jarang sekali menyimpan stok. Para pedagang itu kemudian menjual lagi sanggul-sanggul produksinya ke berbagai daerah, bahkan ada yang sampai ke luar kota, dan menjualnya sampai Sumatera.

Selain pedagang kulakan, Sodri juga punya banyak pelanggan dari berbagai salon di Sragen dan Solo. Seringnya, para pemilik salon itu datang langsung ke tempatnya. Sementara untuk pelanggan dari luar kota, ia akan mengirimkannya lewat paket. Sodri mengaku ia tak memiliki tenaga pemasaran untuk memperkenalkan produknya. Bahkan ia merasa tidak membutuhkan sarana promosi, karena untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya yang saat ini saja, sudah kewalahan. Oleh karena itu Sodri pun sering menolak ketika ada tawaran dari beberapa instansi untuk mengikuti pameran di berbagai tempat.

Sodri sebenarnya memahami, event pameran merupakan ajang ampuh untuk mengenalkan usahanya. Sayangnya, ia benar-benar tidak punya waktu. Bila ia mengikuti pameran, tidak ada yang akan mengawasi pengrajinnya. Sodri memang masih terlibat langsung dalam kegiatan produksi usahanya.

Soal promosi menurut Sodri yang paling efektif adalah dari mulut ke mulut. Usahanya menyebar dari satu pedagang ke pedagang lain. Bahkan yang tak terduga, banyak media yang meliput usahanya, lantaran dianggap perintis usaha sanggul di daerahnya. Kualitas produknya juga diakui para pelanggannya. Banyak pembeli baru yang mengetahui Sanggul Dewi setelah melihat liputannya di koran.

Dari para relasinya ini Sodri justru banyak mendapat ilmu baru tentang sanggul. Para pelanggannya kerap memesan sanggul bergaya modern. Mereka datang sambil membawa contoh sanggul yang bentuknya baru. Salah satunya sanggul yang diberi nama Manohara, karena sanggul jenis ini munculnya ketika media televisi ramai memberitakan soal artis Manohara. Ada pula sanggul yang dinamakan Sanggul BCL alias Bunga Citra Lestari, dan sanggul keong racun.

Sodri pun mengaku tidak banyak mendapat kesulitan ketika si pelanggan datang membawa contoh sanggul. Ia tinggal meniru sambil membolak-balikkan sanggul tersebut. Ada pula yang memesan dengan hanya membawa gambar saja. Dan biasanya tetap bisa ia selesaikan dengan baik. Terbukti, selama ini tidak pernah ada komplain dari pelanggannya.

Sampai sekarang akhirnya Sodri membuat sanggul tradisional maupun modern. Cara membuatnya pada dasarnya sama saja. Bedanya hanya dibentuk dan variasinya. Sampai sekarang Sodri sudah membuat lebih dari 50 model sanggul.

Selama ini Sodri pun mengaku tidak pernah mengalami pasang surut dalam usahanya. Dalam situasi apa pun sanggul tetap akan dicari. Dulu, ketika terjadi krisis moneter, jualan sanggulnya bahkan tak pernah sepi. Selama ini sanggul banyak digunakan orang untuk keperluan hajatan. Maka dari itu, sepanjang waktu pasti ada orang yang mengadakan pesta. Dan selama itu pula sanggul akan tetap dicari.

Berkaitan dengan orang punya hajat, biasanya orang dari Jawa Tengah tak mengadakan pesta pada bulan Sura dan puasa. Dulunya, pada dua bulan ini usaha sanggulnya memang agak sepi, tapi sekarang sama sekali tak berpengaruh. Pemintaan tetap ramai.

Sodri menyebut, kendala usahanya hanya menyangkut soal SDM. Ia mengaku berkali-kali ganti karyawan. Katanya, kalau ada karyawan yang sudah pintar membuat sanggul, mereka akan membuka usaha sendiri. Kalau sudah begitu, tentu saja Sodri harus mencari karyawan baru. Dan ia harus mengajari lagi dari awal cara-cara pembuatannya. Namun hal demikian tidak menjadi masalah bagi Sodri. Justru ia senang bila usaha mantan karyawannya maju, bahkan ada juga yang sudah melebihi usahanya.

Bagi Sodri, mereka bukanlah pesaing. Ia justru menganggapnya sebagai mitra. Bahkan ia kerap bekerja sama dengan sesama pengrajin. Bila ia kewalahan memenuhi pesanan, ia akan langsung kontak teman-temannya yang sesama pengrajin sanggul. Tentu saja ia memilih bekerja sama dengan pengrajin yang kualitas produknya bagus. Kini kapasitas produksi Sodri sekita 150-an sanggul setiap harinya.

Sodri mematok harga sanggulnya tak terlalu mahal. Untuk sanggul polos hanya Rp 4 ribu. Namun, semakin bervariasi, harganya makin mahal. Ada yang Rp 7 ribu, ada juga yang Rp 9 ribu. Tapi harga itu adalah untuk para bakul, yang membeli untuk dijual lagi. Tiap bakul akan membeli dalam jumlah ratusan. Beda ukuran sanggul, beda pula harganya.

Terkadang, ada pula yang memesan wig pada Sodri. Tapi sayangnya, ia tidak bisa mengerjakannya. Namun bila ada permintaan wig, ia akan mengontak temannya di Probolinggo yang memproduksi wig. Jadi, pesanan wig tetap ia terima.

Dari 10 anaknya, Sodri mengaku, hanya dua anak terkecilnya yang tampaknya tertarik untuk mewarisi usaha sanggul. Sekarang kedua anaknya itu sudah mulai membantu usaha ini. Mulai dari pengepakan sampai pengiriman. Secara berkala ia pun mengirim sanggulnya ke daerah Nganjuk dan Jombang, Jawa Timur.

Prospek usaha sanggul disebut Sodri masih sangat bagus. Namun ia mengakui, kesulitan menambah jumlah produksi lantaran kesulitan mendidik karyawan baru. Sekarang ia hanya tinggal mempertahankan usaha yang ada saja. Walau merahasiakan omset usahanya, namun yang pasti menurut Sodri, dari usaha sanggulnya ini ia bisa menghidupi keluarganya selama puluhan tahun.





reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/02/kisah-sukses-pengrajin-sanggul-dari.html


Related Post :


Loading...


No comments:

Post a Comment