Wednesday, February 3, 2016

KIPRAH PENJUAL JAMU TRADISIONAL DARI DUSUN WATU, BANTUL, YOGYAKARTA




Tak ada yang tahu sejak kapan warga Dusun Watu, Bantul, Yogyakarta mulai membuat jamu. Yang jelas, keahlian mereka dalam mengolah aneka bahan jamu itu sudah dikenal sejak zaman dahulu. Mereka pun merasa lebih sejahtera lewat usaha jamu tradisional.

Aroma rempah-rempah khas jamu tradisional Jawa tercium semerbak begitu memasuki Dusun Watu, Bantul, Yogyakarta. Salah satu sumber aroma itu adalah berasal dari rumah Wagianti yang asri. Setiap harinya, Wagianti disibukkan dengan menimbang dan mengemas jamu bersama beberapa perempuan yang tergabung dalam Koperasi Wanita Jati Husada Mulya Mandiri. Menurut Wagianti, dulunya warga desa membuat dan menjual jamu sendiri-sendiri. Namun sudah beberapa tahun belakangan ini mereka bekerja bersama, yang justru malah berbuah hasil yang positif. Membuat jamu menurut perempuan yang akrab disapa Yanti ini, bukan sesuatu yang asing baginya. Sejak kecil, ibu dua anak ini sudah akrab dengan jamu. Selain menjadi konsumen tetap, keluarga besarnya juga produsen jamu. Setelah beranjak dewasa, Yanti mulai menekuni usaha turun temurun ini dengan belajar dari adik ibunya.

Keahlian membuat jamu sudah Yanti dapatkan sejak tahun 2003 saat ikut bibinya. Ia pun tertarik menekuni dan ingin memanfaatkannya sebagai peluang usaha, sekaligus ingin membantu suaminya mencari nafkah. Dan mulai tahun 2004, ia sudah membuat dan menjual jamu keliling dari kampung ke kampung. Selama menjadi penjual jamu, Yanti mengaku hasilnya cukup lumayan meski awalnya sempat susah mencari pelanggan. Saat memulai usahanya, ia harus membuat jamu cair seperti beras kencur dan kunyit asem. Kemudian dengan sepeda tuanya ia membawa jamu itu sampai 20 kilometer atau lebih untuk mencari pelanggan. Menurut Yanti, saat itu cukup susah mencari pelanggan karena masing-masing warga sudah punya tukang jamu langganan.

Akibatnya, jamu yang ia buat tidak laku dibeli orang. Sampai rumah jamu itu pun terpaksa ia buang. Keadaan seperti itu terus berlangsung selama beberapa hari, sampai kemudian pelan-pelan ia bisa mendapatkan pelanggan baru. Dulu dagangannya dalam sehari hanya mendapat Rp 12.000. Tentu saja ia merugi karena harus terus membeli bahan baku. Namun, Yanti tidak pernah patah arang, kepercayaan dirinya dalam membuat dan menjual jamu semakin terasah. Kepandaiannya dalam berkomunikasi dan menjaga hubungan baik dapat menarik pelanggan dan menjadi nilai lebih yang membuatnya disukai. Dan Yanti bersyukur, saat ini pelanggannya sudah banyak. Bila dulu ia berdagang dengan naik sepeda, kini sudah bisa naik sepeda motor.

Dari hasil obrolan dengan beberapa pembuat dan pedagang jamu, Yanti mulai berpikir untuk membentuk sebuah kelompok bernama Seruni Putih yang awalnya hanya beranggotakan 12 orang. Sampai kemudian saat ini kelompok tersebut berkembang dan menjadi koperasi dengan anggota 30 orang. Saat itu pula Yanti dan anggota koperasi mulai rajin mengikuti berbagai pelatihan dan seminar seputar pembuatan jamu yang diadakan berbagai organisasi dan kampus. Tahun 2012, mereka mendapat pelatihan dan bantuan dari Pertamina. Salah satu pelatihan yang pernah diberikan Pertamina adalah mengolah jamu secara higienis. Mereka juga mendapat kesempatan untuk menitipkan jamu di SPBU Ambar Ketawang, yang ternyata cukup laris.

Dari berbagai pelatihan yang didapatkan, Yanti dan kawan-kawan akhirnya mampu memproduksi jamu dan menjualnya dalam kemasan modern. Variasi jamu yang mereka buat saat ini ada lebih dari 10 jenis. Namun, yang sudah berizin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) baru enam produk. Produk terbaru yang mereka produksi dan sudah mendapat izin adalah secang celup. Menurut Yanti, mendapatkan izin PIRT bukanlah hal mudah. Ia harus melewati berbagai proses yang memakan waktu. Itu mengapa tidak semua varian jamu bisa langsung diproduksi banyak dan diperjualbelikan di tempat tertentu seperti swalayan. Karena agar bisa dijual di tempat seperti itu harus mendapatkan PIRT.

Yanti berharap, jamu dengan kemasan modern ini dapat menambah penghasilan bagi dirinya dan rekan-rekan kelompoknya. Mereka membuat jamu instan sejak 2011. Yanti menjelaskan, untuk membuat jamu instan sebenarnya tidak sulit. Sama saja seperti membuat jamu cair, hanya saja harus dimasak lebih lama hingga cairan tersebut mengkristal. Selain menjual dari kampung ke kampung, Yanti kini juga rajin mengikuti beberapa pameran yang diadakan Pemerintah Daerah atau swasta. Produknya yang paling laku saat ini adalah jamu kunir mangga dan secang. Karena permintaan pelanggan pula, jenis jamu instan ini juga semakin bertambah. Sebagian resep Yanti dapatkan dari Dinas Kesehatanyang turut menjadi mitranya.

Tak jarang, Yanti juga melakukan ujicoba sendiri dalam membuat jamu instan. Misalnya seperti selang celup. Prosesnya berawal dari coba-coba saja, ternyata ia bisa membuatnya. Memang sebelumnya ada juga secang celup dari merek lain. Yanti kemudian mencoba membuatnya sendiri dan membandingkannya. Ia ingin membuat secang celup buatannya memiliki rasa yang lebih baik dibandingkan produk yang sudah ada. Dari hasil penjualan jamu secara berkelompok, Yanti mengaku omzetnya juga turut bertambah. Saat ini omzetnya sudah mencapai Rp 300.000 per hari. Sementara harga jual jamu sendiri beragam tergantung jenisnya, mulai Rp 12.000 sampai Rp 17.000. Yanti sangat beruntung suaminya turut mendukung langkahnya, sehingga ia bisa terus berkreasi.

Selama menekuni usaha ini, Yanti mengaku tidak pernah menemui hambatan berat. Paling hanya masalah harga bahan baku saja yang beberapa kali sempat naik. Selain itu, ia juga susah berjualan saat musim hujan karena sulit berkeliling. Pada saat bahan baku naik, Yanti berhati-hati untuk juga menaikkan harga produk. Mereka memang agak susah untuk menaikkan harga jual. Kalaupun terpaksa harga jual dinaikkan, mereka melakukannya secara pelan-pelan. Yang jelas, sebelum menaikkan harga, pelanggannya sudah dikasih tahu terlebih dahulu bahwa bahan baku sudah naik. Untung, sejauh ini masalah tersebut tidak pernah menjadi masalah besar. Yang penting kualitas tetap terjaga dan tidak memakai campuran macam-macam. Jadi, murni alami. Dan satu hal lagi, mereka juga perlu mengikuti perkembangan zaman agar terus disukai pelanggan.

Masih di dusun yang sama, terdapat kelompok pembuat jamu lain bernama Wiji Temulawak. Kelompok yang diketuai oleh Sami Sedyoprayitno ini mengkhususkan diri membuat jamu gadog. Menurut nenek 6 cucu ini, ia memasarkan jamu tidak secara keliling melainkan sudah memiliki tempat khusus di pasar tradisional dekat rumahnya. Karena membuat jamu godog lebih mudah ketimbang jamu cair dan instan, kelompok ini membuat jamu hanya dua kali per bulan. Para anggota kelompok berkumpul di rumah Sami setiap tanggal 1 dan 15 setiap bulannya. Dengan bekerja bersama, mereka bisa membeli bahan-bahan jamu lebih murah karena memesan sekaligus banyak, hingga dapat menekan modal.

Dengan anggota mencapai 23 orang, kelompok Wiji Temulawak ini dapat membuat jamu lebih cepat dan dalam jumlah yang banyak. Jamu godog ini juga dapat bertahan lama, sampai 4 bulan. Jenis jamu yang mereka buat sangat beragam, mulai dari jamu untuk asam urat, pegal linu, rematik, kencing manis, pelangsing, dan lain-lain. Sama seperti Yanti, Sami juga belajar membuat jamu secara turun temurun. Tak heran, ia memiliki banyak pelanggan setia yang juga turun temurun. Sami tak mengetahui persisnya kapan warga Dusun Watu mulai dikenal sebagai pembuat dan pedagang jamu. Karena dari dulu memang di dusun ini semua warganya berjualan jamu, baik secara berkeliling atau berjualan di pasar.

Saat ia masih muda, ia menjual jamu dengan berkeliling dari kampung ke kampung. Tapi saat ini karena usianya sudah tua, ia cukup berjualan jamu di pasar saja. Setiap kali ia dan para anggota kelompoknya berkumpul, ada sekitar lebih dari 100 bungkus jamu yang siap dijual dengan harga mulai dari Rp 3000 sampai Rp 5000 per bungkus. Karena masih dikelola secara tradisional, Sami tidak mengetahui persis berapa omzet dan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Karena memang tidak tentu, dan jumlahnya juga berbeda-beda. Baginya yang penting masih dapat pemasukan untuk membeli bahan dan hidup sehari-hari.

Jamu godog tentu berbeda dengan jamu cair dan jamu instan yang tinggal diminum atau dituang air panas. Untuk menikmati jamu godog, perlu melewati proses memasak terlebih dahulu. Agar khasiatnya semakin baik, Sami mengatakan saat merebus jamu lebih baik menggunakan kuali yang dibuat dari tanah liat. Dalam membeli jamu juga jangan sembarangan. Harus hati-hati agar tidak tertipu dan malah bisa membuat sakit. Sami dan Yanti berharap usaha jamu ini dapat terus lestari. Karena jamu adalah warisan nenek moyang yang patut dilestarikan. Banyak efek positif dari jamu bagi tubuh manusia. Misalnya jamu beras kencur yang sangat baik untuk menghangatkan badan, menambah nafsu makan dan menjaga kesehatan.

Meski begitu, Yanti dan Sami tidak mencantumkan khasiat jamu dalam kemasan mereka. Dinas Kesehatan dan BPOM memang meminta agar pada kemasan jamu tidak dilampirkan label khasiat mengobati. Melainkan menggunakan kata membantu atau meredakan. Selain itu, sebelum meminum jamu ada baiknya ketahui terlebih dulu kondisi tubuh. Karena ada beberapa jenis jamu yang tidak cocok diminum bagi orang tertentu. Misalnya, mereka yang darah rendah tidak boleh meminum kunir mangga, darah tinggi tidak boleh meminum temulawak, diare tidak boleh minum kunyit, dan lain-lain. Yanti, Sami, dan anggota kelompoknya, mengaku benar-benar sudah bisa menikmati harum aroma rempah-rempah jamu dalam keseharian mereka.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/10/kiprah-penjual-jamu-tradisional-dari.html


Related Post :


Loading...


No comments:

Post a Comment