Wednesday, February 3, 2016

KISAH PENGRAJIN SONGKET BATUBARA - SUMATERA UTARA




Songket, kain tenun tradisional masyarakat Melayu ini sudah dikenal sejak lama. Songket yang dikenakan pada acara-acara resmi masyarakat Melayu ini berasal dari kata ?sungkit? yang berarti mencungkil atau mengait. Berbeda dengan daerah lain, Songket Batubara yang merupakan produk tekstil dari Kabupaten Batubara, Sumatera Utara memiliki berbagai kombinasi warna yang menarik. Tak heran jika kemudian para pengrajin songket asal Batubara banyak menerima pesanan dari mancanegara, terutama Malaysia, Brunei dan Singapura.

Hal inilah yang diakui Azhar Abdullah, yang sudah mulai membuat songket sejak tahun 1977. Azhar mengaku, belajar menenun songket secara turun temurun. Songket Batubara yang dibuatnya, sudah diakui kualitasnya, bahkan tak jarang ia mendapat pesanan dari keluarga Raja Malaysia dan Sultan Brunei. Menurut Azhar, Raja Malaysia biasa memesan motif cempaka dengan bahan dasar benang warna hitam dan motifnya warna emas. Sementara Sultan Brunei memesan motif Tampuk Manggis.



Satu keunggulan songket Batubara menurut Azhar adalah motifnya yang sangat banyak dan beragam, mungkin jumlahnya bisa mencapai ratusan. Di antaranya cempaka, bunga mentolas, bunga melati, bunga mawar, pucuk rebung, pucuk pandan, dan lain-lain. Walau tidak ada catatannya, Azhar mengaku masih hafal semua motif dan bagaimana membuat polanya. Tak mudah membuat selembar songket, menurut pria berkacamata ini. Butuh waktu bertahun-tahun. Mungkin kalau belajar menenun saja bisa cepat, tapi membuat polanya yang membutuhkan waktu. Menurut anak kelima dari sembilan bersaudara ini, dari semua saudaranya, hanya dirinya yang masih bisa membuat pola.

Hasil tenunan Azhar kini sudah dipasarkan di 10 negara. Bahkan satu songket buatannya telah dipajang di salah satu museum di Belanda. Walau begitu, Azhar menyediakan beragam songket dari mulai harga Rp 350.000 sampai Rp 65 juta. Yang menjadikan songket buatannya mahal adalah, karena terbuat dari benang sutera, emas dan perak. Untuk mencari bahan bakunya dan membuatnya juga susah. Menurut pria yang kini memiliki 100 orang karyawan ini, bila memakai bahan sutera bisa sampai dua bulan proses pengerjaannya. Diakui Azhar, saat ini jumlah pengrajin yang sedikit membuat pesanan tidak semua dapat dipenuhi. Biasanya jelang akhir tahun banyak orang seperti dari Tapanuli, Karo dan Simalungun yang mencari songket. Pesanan baru sepi pada bulan Juni dan Juli, mungkin karena memasuki tahun ajaran baru.



Selain Azhar, pengrajin songket Batubara yang lain adalah Yusnah. Ia mengaku sudah belajar menenun songket sejak kelas tiga SD. Menurutnya, songket Batubara memiliki tekstur yang lembut, ringan, tidak luntur sehingga lebih nyaman dipakai. Songket Batubara juga dikenal unik karena cenderung menggunakan warna cerah, seperti merah, kuning, hijau, biru, dan ungu. Kualitas kainnya pun bisa dibilang unggul, karena proses pembuatannya masih menggunakan alat tenun dari kayu dengan teknik tradisional.

Sayangnya, dokumentasi asal usul songket Batubara hingga kini masih belum diketahui secara jelas. Tak ada yang tahu pasti kapan songket masuk ke Batubara. Namun Azhar mengaku bahwa keluarganya masih menyimpan sebuah songket warisan leluhur yang sudah berusia ratusan tahun. Kini, songket tak hanya dijadikan bagian dari busana resmi saja. Demi memperkenalkan songket kepada masyarakat, songket kini diaplikasikan menjadi beragam benda sehari-hari. Di antaranya taplak meja, tutup air galon, sampai kemeja. Hasilnya, songket Batubara pun kian dikenal.


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2015/02/kisah-pengrajin-songket-batubara.html


Related Post :


Loading...


No comments:

Post a Comment