Saturday, January 23, 2016

HANI KUSDARYANTI, PENGUSAHA MAKANAN OLAHAN IKAN FANIA FOOD




Berawal dari permintaan tetangga untuk dibuatkan otak-otak bandeng, Hani Kusdaryanti kini sukses menjadi pengusaha makanan olahan ikan dan menjualnya dengan sistem keagenan. Ide memulai bisnis ini berawal dari ketidak sengajaan. Hani yang asli Kudus, Jawa Tengah dan tinggal di Yogyakarta ini kerap dibawakan otak-otak bandeng buatan Ibunya sendiri, saat Ibunya datang ke Yogyakarta.

Oleh-oleh dari ibunya itu lalu ia bagikan ke tetangga dan teman-teman kantor. Dan ternyata mereka pada menyukainya. Jika Ibunya lama tak datang ke Yogyakarta, banyak tetangga dan teman-teman kantor yang mengaku kangen dengan otak-otak buatan ibunya. Sementara Hani saat itu tidak pernah punya keinginan untuk membuatnya, karena setiap kali melihat ibunya memasak, terlihat repot sekali. Padahal, ibunya sudah berkali-kali menyuruhnya untuk mencoba membuat otak-otak bandeng sendiri.

Suatu hari pada 2008, ada salah satu tetangganya yang minta dibuatkan otak-otak bandeng untuk dibawa ke acara arisan. Setelah menelepon ibunya, Hani pun lalu memberanikan diri membuatnya dengan dipandu ibunya. Meskipun otak-otak bandeng buatannya rasanya belum pas seperti buatan sang ibu, ternyata tetangganya tetap suka. Mereka malah memesan lagi. Berawal dari sini, suaminya, Hari Susanto, lalu menyarankannya untuk mencoba berjualan otak-otak bandeng saja. Setelah berpikir, Hani pun akhirnya menyetujui usulan itu.

Setelah empat kali praktik membuat otak-otak bandeng bersama pembantunya, ia menganggap rasanya sudah pas. Hari pertama berjualan, ia membuat sebanyak 3 kg, dengan isi 3 ekor bandeng per kilogram. Setelah jadi, ia bawa ke kantor dengan dikemas dalam boks plastik. Selain itu, ia juga mencoba mampir ke beberapa instansi pemerintah dan kampus untuk menawarkan dagangannya.

Ia menitipkan produknya ke petugas front office, sambil mengatakan otak-otak bandeng buatannya rasanya alami dan dibuat tanpa bahan pengawet. Biasanya, ia menitipkan lima ekor untuk setiap kantor, dengan harga Rp 10 ribu per ekor. Meski awalnya sempat malu-malu saat menawarkan dagangan, akhirnya lama-lama Hani pun jadi terbiasa berjualan.

Tiap pagi ia menyetor dagangannya, lalu sore sepulang kerja langsung ia ambil uangnya. Ia bersyukur dagangannya selalu habis. Suaminya lalu memasang iklan kolom di sebuah harian lokal. Ternyata peminatnya banyak. Hani pun harus menambah produksi menjadi 5 kg ikan setiap harinya. Sementara saat di kantor, teleponnya selalu berbunyi menanyakan dagangannya. Saat itu, otak-otak bandengnya selalu sudah habis menjelang siang hari, sehingga sore sepulang kerja ia pun harus mengantarkan lagi otak-otak bandeng buatannya ke para pemesan.

Hani pun harus pintar-pintar membagi waktu membuat otak-otak bandeng, mengingat ia masih harus bekerja di tempat lain. Setiap hari, dimulai dari pukul 06.00, Hani sudah berbelanja ke pasar di dekat rumahnya untuk membeli bahan otak-otak bandeng. Setelah itu ia langsung mengolahnya. Saat bandeng dikukus, ia pun mengisi waktu dengan mandi dan berdandan.

Selanjutnya, suatu hari pada Ramadhan 2008, ia diundang buka puasa bersama oleh kantor Dinas Perindustrian Yogyakarta. Kebetulan, kantor itu tiap hari memang selalu ia titipi otak-otak bandeng buatannya. Saat itulah, ia baru tahu ternyata produk yang beredar di pasaran harus mempunyai izin. Selain itu, kemasannya juga berfungsi penting. Selama ini, otak-otak bandeng buatannya hanya dikemas dalam plastik biasa.

Pulang dari acara itu, Hani pun termotivasi untuk memperbaiki produknya dan segera memberi tahu suaminya. Sang suami lalu membuatkan desain kemasan. Kemudian ia mendapatkan tawaran dari Dinas Perindustrian untuk pameran di Jogja Expo Center. Padahal ketika itu, ia belum memiliki izin usaha. Di acara pameran itu ia bertemu dengan petugas Badan Pengawas Obat dan Makan (POM) yang menyarankannya untuk mengurus perizinan. Kebetulan pula saat itu ia bertemu dengan buyer, sebuah supermarket besar. Ia diminta untuk menyuplai otak-otak bandeng ke supermarket itu, dan mereka bersedia menunggu sampai izin usahanya selesai diurus.

Namun ternyata Hani merasakan mengurus izin usaha itu sangat repot sekali, bahkan sempat membuatnya malas mengurusnya dan stres. Tapi karena saat itu ia ditunggu oleh buyer, ia jadi termotivasi. Setelah izin keluar, produknya pun bisa masuk ke supermarket itu. Mereknya sengaja ia beri nama Fania, gabungan dari kedua nama anaknya, Farrell dan Intania.





Lama kelamaan usahanya pun berkembang. Ada beberapa supermarket di Yogyakarta yang kemudian ikut memintanya menyuplai produk ke sana. Selain didampingi Dinas Perindustrian, ia juga didampingi Dinas Perikanan dan Kelautan. Dari sinilah akhirnya ia sering diikutkan ke berbagai lomba wirausaha dan selalu menang.

Kendati jumlahnya tak besar, uang hasil menang lomba itu ia kumpulkan untuk membenahi rumah produksi sedikit demi sedikit. Kebetulan di tahun 2008 ia juga telah membeli rumah bambu kecil yang letaknya tak jauh dari rumahnya, untuk tempat produksi. Jumlah tim yang memasak juga bertambah menjadi enam orang. Sebelumnya, ia hanya mengerjakan dengan dibantu seorang pembantu.

Hani bersyukur, pemasaran produknya semakin meluas. Dan dari usahanya ini di tahun 2011 ia bisa membeli mobil bak terbuka untuk mengambil pasokan ikan langsung dari Semarang, karena jumlah produksinya yang semakin banyak. Dengan membeli langsung di sana, harga ikan jadi lebih murah. Selisih harganya bisa ia pakai untuk membayar cicilan mobil. Namun saat itu ia sempat terlena. Ia berpikir, pekerjaan di kantor masih tetap bisa ia jalani dan ia punya pekerjaan sambilan yang menghasilkan.

Ia tak menyadari, lama-kelamaan grafik penjualan ternyata terus menurun. Padahal dengan enam pegawai, pada 2010 produksi per harinya sudah sekitar 150-200 ekor. Ketika ia mengeluhkan hal itu kepada pegawai bagian penjualan, ia diberitahu, bahwa saat itu sudah banyak produk sejenis yang dijual di supermarket. Hani pun baru sadar, ternyata survei pasar untuk mendukung kegiatan usaha sangatlah perlu. Akhirnya, di akhir pekan ia selalu meluangkan waktu berkeliling ke beberapa supermarket, melihat-lihat produk kompetitor.

Dari situ ia jadi berpikir, jika dirinya masih terus bermain di otak-otak bandeng saja, suatu saat kompetitor akan tumbuh dengan cepat dan ia akan tersisih. Ia lalu terpikir untuk melakukan diversifikasi produk. Sebetulnya, di awal 2010 ia sudah pernah dikirim Dinas Perindustrian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ke Bogor, Jawa Barat untuk belajar aneka macam olahan ikan dan daging selama 10 hari.

Tapi lantaran belum tergerak dari hati, sepulang dari Yogyakarta modul pelatihannya ia tumpuk begitu saja. Setelah tahu kompetitor makin banyak, modul itu ia cari lagi dan dipelajarinya kembali. Resep-resep yang ada di sana ia praktikkan di rumah. Setelah jadi, ia coba membuat sampel bersama tim masak di rumah produksi.

Setelah sampel jadi, ia ujikan ke laboratorium untuk mengetahui nutrisi dan cemaran bakterinya. Dan selanjutnya, ia pun selalu melakukan tahapan seperti itu, setiap kali menemukan resep baru. Setelah hasilnya diketahui baik, ia menyebarkan sampel itu ke agen-agen secara gratis. Jika memang ada permintaan dari beberapa agen, barulah diproduksi secara massal.

Saat ini sudah ada 18 produk beku yang ditawarkan Hani, antara lain otak-otak bandeng, bandeng presto, nuget ikan, otak-otak ikan, tahu bakso, sosis ikan, dan bola-bola cumi. Ada juga lima produk kering, antara lain abon duri bandeng, nila crispy, amplang bandeng, dan wader crispy. Harganya mulai dari Rp 11 ribu ? Rp 17 ribu, dengan kemasan 200 gram ? 250 gram. Untuk presto dan otak-otak bandeng, ia menjualnya per ekor. Sekarang, Hani menargetkan ada satu produk baru tiap tiga bulan. Tim masaknya pun sudah berjumlah 12 orang.





Di tahun 2011, Hani bertemu seseorang yang ternyata pintar di bidang marketing. Orang itu mengajukan permintaan untuk menjadi agen di Yogyakarta. Hani pun menyetujui dengan syarat, suplai ke supermarket tetap ia yang pegang. Orang itu lantas memasok ke berbagai rumah sakit, hotel, katering, kafe, dan restoran di Yogyakarta. Selanjutnya, banyak orang yang minta jadi agen di kota-kota lain. Setiap agen di tiap kota memiliki cara pemasaran sendiri-sendiri. Ada yang fokus ke rumah sakit saja, fokus ke kantin-kantin sekolah, atau khusus katering ke sekolah tentara.

Pada 2011 pula, akhirnya Hani memutuskan berhenti bekerja. Ia merasa tak enak karena sering izin untuk berbagai kegiatan Fania Food. Suaminya pun juga memintanya lebih fokus mengurus Fania. Ditambah lagi, ia sering diutus dinas yang mendampingi untuk ikut pelatihan, lomba, atau memberi pelatihan ke berbagai tempat dan kota.
Dengan usahanya ini, Hani memang sudah beberapa kali memenangi lomba. Antara lain juara tingkat provinsi untuk lomba UMKM produk perikanan pada 2012, lalu maju ke tingkat nasional. Dan juga pernah menjadi juara umum tingkat provinsi untuk lomba masak olahan ikan, kemudian juara dua untuk tingkat nasional.

Ia juga kerap memberikan pelatihan ke berbagai kelompok usaha olahan ikan di berbagai kota, antara lain Palu, Gunung Kidul, Mataram, Karawang, Musi Rawas, Semarang. Sekian tahun terjun ke bidang usaha ini membuat Hani merasa, peran pemerintah sangat membantu usahanya. Oleh karena itu, ia sangat sedih bila melihat teman-teman dari kelompok lain yang sudah dibantu permodalan, peralatan, regulasi, dan bahan baku, tapi masih malas-malasan untuk berkembang.




Kini, Hani pun tidak perlu setiap hari ada di rumah produksi, karena ia sudah membuat sistem, dari penerimaan bahan baku, proses produksi, pengemasan, pendistribusian, pengiriman, dan penagihan ke supermarket. Ia cukup memantau saja dari jauh atau sesekali datang. Jika ada permohonan agen baru, ia sendiri yang menangani, karena harus menjelaskan deskripsi produk.

Saat ini agen Fania Food sudah tersebar di beberapa kota. Antara lain, Solo, Jakarta, Bandung, Cimahi, Depok, selain tentunya Yogyakarta. Sementara, reseller jumlahnya lebih banyak lagi, antara lain ada di Surabaya, Kudus, Nganjuk, Banyumas, Medan, Denpasar, Malang, Semarang, Boyolali, dan Banjarnegara. Total agen dan reseller ada sekitar 56 orang.

Saat Ramadhan, libur sekolah, dan akhir tahun, bisanya permintaan pasar pada produk Fania Food melonjak. Bila pada hari biasa, butuh 100-200 kg bahan baku per hari, tapi jika sedang ramai bisa sampai 200-300 kg bahan baku. Meski jumlha tim masak sudah dilipat gandakan dengan mengambil tenaga lepas, tetap saja kurang. Biasanya, Hani banyak dibantu oleh tenaga magang dari berbagai kampus atau sekolah. Meski sudah menyetok barang sejak sebelum Ramadhan, pertengahan Ramadhan stok barang biasanya sudah habis.





Hani sangat senang, ternyata apa yang ia lakukan selama ini ada hasilnya. Dan masih banyak mimpinya untuk mengembangkan Fania Food, dan berharap semuanya bisa terwujud dengan lancar.



Hubungi Kami
RUMAH PRODUKSI FANIA FOOD
Jl. Semangu KG-1 No.16 RT.3 RW.1, Gedongkuning, Kel. Rejowinangun, Kec. Kotagede, Yogyakarta

KANTOR PEMASARAN DAN PENDAFTARAN AGEN
Gedongan Baru II No.14 RT.07, Pelemwulung, Banguntapan, Bantul

CONTACT PERSON

Call/SMS : 081.827.3814
Whatsapp : 081.827.3814
BBM : 74369145
FB : hani.kusdaryanti


____________________________________________________________________________

BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan!! Pesan sekarang di 085695138867 atau buka laman ini : BOLU JULIA


reff : http://indonesiaenterpreneur.blogspot.com/2014/03/hani-kusdaryanti-pengusaha-makanan.html


Related Post :


Loading...


No comments:

Post a Comment